kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Istana Dalam Pusaran Isu Tunda Pemilu, Para Analis Hukum Kibarkan Pandangan

Istana Dalam Pusaran Isu Tunda Pemilu, Para Analis Hukum Kibarkan Pandangan

Rabu, 02 Maret 2022 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi Pemilu. [Foto: Istimewa]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Publik dibuat kisruh oleh sejumlah elit politik yang mengusulkan penundaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 2024. Bagi sebagian kalangan, upaya penundaan pemilu dinilai telah melabrak amanah konstitusi. Gonjang-ganjing penundaan pemilu ini juga disebut hanya mementingkan syahwat oligarki semata.

Para pakar hukum tata negara juga tak tinggal diam di saat istana sedang berada dalam pusaran isu tunda pemilu. Mereka ikut merespons dengan memberikan pernyataan. Salah satunya datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva. 

Ia berpandangan, penundaan pemilu merupakan bentuk perampasan hak rakyat. Karena di dalam Pasal 22E UUD 1945, dengan tegas mengatur bahwa pelaksanaan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Namun, kata Hamdan, apabila ingin menunda pemilu, maka harus mengubah pula rumusan Pasal 22E sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 UUD 1945. Hamdan juga menegaskan, tak ada alasan moral, etik serta demokrasi terhadap menunda pemilu.

“(Jika menunda Pemilu) dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali. Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain,” ujarnya melalui akun twitternya, Sabtu (27/2/2022) pekan lalu.

Hamdan melanjutkan, apabila pemilu ditunda 1-2 tahun, maka siapa yang akan menjabat pada posisi presiden, anggota kabinet menteri, dan anggota DPR, DPD, DPRD se-Indonesia. Karena masa jabatan seluruhnya berakhir pada September 2024. 

Menurutnya, persoalan menjadi rumit secara konstitusionalitas ketika dilakukan penundaan Pemilu. Ia berpendapat, penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya mencari-cari masalah yang menguras energi bangsa. Ia juga menyarankan agar semua pihak maupun elit partai konsisten menjalankan pemilu sesuai konstitusi agar negara tetap dalam kondisi aman.

Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra mengatakan, penundaan pemilu 2024 dapat terlaksana asalkan mendapat keabsahan dan legitimasi dengan menempuh tiga cara. Pertama, amandemen UUD 1945. Kedua, presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

“Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku,” ujarnya.

Wakil Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur-red) ini menilai, landasan paling kuat dalam memberikan legitimasi terhadap penundaan pemilu, konsekuensinya berupa perpanjangan masa jabatan presiden dan wapres, MPR, DPR, DPD dan DPRD. 

“Caranya itu tadi, dengan mengamandemen UUD 1945. Sedianya prosedur amandemen konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, Pasal 24 dan 32 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU No.13 Tahun 2019, serta Tata Tertib MPR,” ungkapnya.

Baginya, hal perlu diubah bukanlah mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ada secara harfiah. Tapi, menambah pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum. Menurutnya, Pasal 22E dapat ditambah ayat baru, yakni Pasal 22E ayat (7) yang memuat norma, “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka MPR berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu”.

Kemudian ayat (8), “Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum”.

Prof Yusril menambahkan, dengan penambahan dua ayat dalam Pasal 22E UUD 1945, maka tak ada istilah perpanjangan masa jabatan presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga, para anggota MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.

Sementara itu, mantan Ketua MK periode 2003-2008, Prof Jimly Asshiddiqie mengomentari pandangan Yusril. Menurutnya, tiga cara penundaan pemilu dengan menambah ayat pada Pasal 22E UUD 1945, mengeluarkan dekrit dan menciptakan konvensi ketatanegaraan hanyalah dari sudut pandangan perorangan berlatar belakang sarjana hukum dengan metode deskriptif, lawyer dan administratur yang berupaya menjustifikasi kekuasaan.

“Tapi di pengadilan, legal-ilegal sangat jelas. Maka dekrit presiden Gusdur bubarkan DPR dengan logika sama dinyatakan melanggar hukum dan MPR berhentikan,” pungkasnya.

Dikabarkan sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdul Muhaimin Iskandar menerima pelaku UMKM, para pengusaha dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di ruang Delegasi DPR. 

Pasca mendengar masukan, Ketua Umum PKB itu mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dua sampai tiga tahun secara terbuka. Ia beralasan penundaan pemilu agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.

Bak gayung bersambut. Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto masih terkesan malu-malu. Lain halnya dengan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng yang menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden bukan hal tabu untuk dibahas.

Menurutnya, selagi prosesnya dilakukan secara konstitusional, menjadi sah. Menyusul sikap politik dari partai besar seperti PKB dan Golkar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sepakat apabila Pemilu 2024 diundur. Dia menjelaskan lima alasan agar pemilu dapat diundur, salah satunya pandemi Covid-19 yang belum berakhir. (Hukum online)



Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda