kip lhok
Beranda / Berita / Dunia / Ekonomi Turki di Ujung Tanduk, Erdogan Kehabisan Akal

Ekonomi Turki di Ujung Tanduk, Erdogan Kehabisan Akal

Rabu, 20 Mei 2020 11:02 WIB

Font: Ukuran: - +

Foto: Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (Presidential Press Service via AP, Pool)


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ekonomi Turki kembali berada di ujung tanduk dan Presiden Recep Tayyip Erdogan kehabisan pilihan. Padahal baru-baru ini, Turki mulai pulih dari resesi pertamanya dalam satu dasawarsa terakhir akibat hadirnya pandemi COVID-19.

Dengan risiko pengangguran massal, jatuhnya pariwisata, dan mata uang yang tidak stabil, "situasinya sangat buruk," kata Atilla Yesilada, ekonom di think tank GlobalSource Partners, dikutip dari AFP.

Erdogan sebelumnya meluncurkan paket stimulus pada Maret sebelum virus itu menyerang dan menulari lebih dari 150.000 masyarakat Turki. Namun para kritikus mengatakan rencana mengucurkan dana US$ 15 miliar itu tidak mencukupi. Produk domestik bruto (GDP)  tahunan Turki sendiri berjumlah sekitar $ 770 miliar.

Meskipun demikian para ekonom memperkirakan resesi kedua ini akan jauh lebih menyakitkan. Beberapa mengatakan Erdogan harus mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF), opsi yang selalu ditolaknya.

Dengan angka kematian harian yang turun, Erdogan baru-baru ini mengumumkan pencabutan pembatasan secara bertahap pada Mei dan Juni guna memacu kembali negara ekonomi terbesar ke-19 di dunia.

Ekonomi Turki telah menjadi perhatian sejak krisis mata uang 2018, dengan pertumbuhan tahun lalu hanya 0,9 persen, pengangguran yang mencapai 13,6 persen pada Februari, dan inflasi dua digit.

Situasi suram ini menyebabkan kekalahan dalam pemilihan lokal tahun lalu ketika partai AKP Erdogan yang berkuasa kehilangan Istanbul dan Ankara.

"Ini bukan jenis panorama ekonomi yang membuat pemimpin tetap berkuasa, apalagi Pak Erdogan," kata Yesilada.

Cagaptay mencatat bahwa "tidak ada pemilihan yang dijadwalkan hingga 2023 tetapi popularitasnya merosot dan akan sulit untuk mengabaikan seruan untuk pemilihan awal jika ekonomi turun".

Pemerintah berharap untuk pertumbuhan lima persen pada tahun 2020, tetapi IMF memprediksi PDB sebaliknya akan berkontraksi sebesar lima persen, serta naiknya angka pengangguran menjadi 17,2 persen tahun ini.

Kekhawatiran pasar yang berkembang tercermin dalam lira Turki, yang telah kehilangan sekitar 15% dari nilainya terhadap dolar AS sejak awal 2020. Lira bahkan mencetak rekor terendah terhadap greenback pada awal Mei, mencapai 7,24 terhadap dolar sebelum kembali menguat.

Turunnya nilai lira membuat khawatir sektor swasta Turki yang sudah mengontrak sejumlah besar utang dalam mata uang asing.

Dihadapkan dengan pandangan suram seperti itu, para ekonom percaya Ankara akan segera harus mencari bantuan IMF. Turki telah meminta bantuan IMF 19 kali. Namun bagi Erdogan, langkah seperti itu akan menjadi penghinaan.

Kesepakatan IMF akan menjadi pilihan terakhir," kata perusahaan konsultan Capital Economics dalam sebuah catatan. "Erdogan kemungkinan akan menghabiskan semua opsi lain sebelum mencari bailout."

Turki berharap untuk membangun jalur swap, yakni mekanisme keamanan yang membantu menghindari kekurangan mata uang asing, dengan bank sentral asing, terutama Federal Reserve Amerika Serikat.

Ini adalah salah satu alasan "serangan pesona" Ankara baru-baru ini dengan Washington yang mencakup pasokan peralatan medis, kata Cagaptay kepada AFP.

Sebelum meminta tolong kepada IMF, Erdogan dikabarkan masih memiliki pilihan lain. Harga minyak yang lebih rendah harus mengurangi inflasi, menurut Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (EBRD), yang mengharapkan ekonomi rebound tahun depan.

Ankara juga dapat memanfaatkan keinginan perusahaan-perusahaan Eropa untuk mempersingkat rantai pasokan guna mendapatkan pangsa pasar dan menarik investasi.

"Ini menciptakan peluang bagi Turki. Ia memiliki upah rendah, tenaga kerja terampil, dan memiliki catatan teladan barang berkualitas tepat waktu," kata Yesilada.

Karena pandemi tersebut menunjukkan kekuatan sistem kesehatan, Turki juga dapat mengambil manfaat dari peningkatan pariwisata medis, yang telah menjadi sektor yang berkembang pesat, tambahnya.

Turki hingga kini menduduki posisi ke-9 dengan kasus terjangkit terbanyak secara global dengan 150.593 kasus. Sedangkan ada 4.171 kasus kematian, dan 111.577 pasien berhasil sembuh per Selasa (19/5/2020), menurut data Worldometers. (Im/CNBCIndonesia)

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda