DIALEKSIS.COM | Nasional - Hasil penelusuran dan tracking data yang dihimpun Dialeksis menunjukkan rangkaian kontroversi yang terus membayangi kinerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Mulai dari kebijakan yang keliru, pernyataan publik yang tak akurat, hingga laporan tidak valid kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai pemulihan listrik Aceh, semuanya semakin menguatkan persepsi publik bahwa Bahlil tidak memiliki kredibelitas sebagai mentri dan pada titik krisis kepercayaan yang serius.
Data lembaga riset CELIOS bahkan menempatkan Bahlil sebagai menteri dengan penilaian terburuk selama setahun pemerintahan, dengan skor -151 angka terendah di seluruh kabinet.
Pada 7 Desember 2025, Bahlil melaporkan kepada Presiden bahwa 93 persen suplai listrik di Aceh telah kembali menyala. Namun laporan itu langsung dimentahkan oleh fakta lapangan. Hingga dua hari setelah pernyataan tersebut, pemadaman bergilir masih terjadi di berbagai wilayah seperti Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Tamiang, Bireuen, hingga Aceh Utara.
Data monitoring Dialeksis menunjukkan tingkat pemulihan di sejumlah daerah bahkan hanya mencapai 35 - 60 persen. Jarak antara klaim dan realitas inilah yang membuat publik menilai informasi yang disampaikan Bahlil kepada Presiden bukan hanya tidak akurat, tetapi menyesatkan.
Kontroversi pemulihan listrik Aceh bukan satu-satunya catatan buruk. Berikut rangkaian ketidakcakapan Bahlil sebagai menteri yang dirangkum Tracking Dialeksis:
1. Larangan LPG 3 Kg di Pengecer
Menimbulkan antrean panjang, kelangkaan masif, hingga memicu satu korban jiwa. Kebijakan kemudian dicabut.
2. IUP Nikel di Raja Ampat
Penerbitan izin tambang di pulau-pulau kecil wilayah konservasi memicu protes keras. Presiden Prabowo akhirnya membatalkan izin tersebut.
3. Impor BBM Dipusatkan ke Pertamina
Dikhawatirkan menimbulkan monopoli dan mengganggu stabilitas pasokan.
4. Sorotan Integritas Akademik
Penangguhan gelar akademik kembali memperberat beban reputasi kementerian.
5. Skor -151 versi CELIOS
Menegaskan performa Bahlil berada pada posisi paling rendah di antara seluruh menteri.
Pandangan Pengamat
Pengamat Energi Universitas Padjadjaran, Fahmy Radhi, menilai Bahlil telah melampaui batas toleransi kesalahan kebijakan.
“Saya salah satu yang mendorong untuk me-reshuffle Pak Bahlil. Tidak bisa diperbaiki lagi karena sudah blunder terlalu parah. Hanya ada satu jalan keluar, yaitu diganti,” tegasnya.
Pendapat serupa disampaikan akademisi Universitas Syiah Kuala, Firdaus Mirza Nusuary, menyampaikan desakan keras agar Presiden Prabowo segera, tanpa menunda waktu, mengganti Bahlil sebagai Menteri ESDM. Menurutnya, situasi telah mencapai tingkat yang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Melihat akumulasi kesalahan yang terus berulang, dan dampaknya meluas, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda pergantian Menteri ESDM. Presiden harus segera menunjuk figur yang lebih kredibelitas dan kompeten,” ujarnya kepada Dialeksis.
Firdaus menegaskan bahwa mempertahankan Bahlil justru berpotensi memperlambat efektivitas kerja pemerintah, terutama dimasa darurat pemulihan pasokan energi, juga bagian dari citra presiden memburuk karena menterinya tidak berkualitas.
“Masyarakat butuh kepastian, bukan polemik berkepanjangan. Menteri ESDM harus menjadi sumber solusi, bukan sumber masalah. Semakin cepat Presiden mengganti Bahlil, semakin cepat pula agenda pembangunan energi bisa kembali normal,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan Dr. Teuku Kemal Fasya, M.Hum akademisi Universitas Malikussaleh, menegaskan bahwa blunder beruntun yang dilakukan Bahlil sudah berada dalam kategori krisis kepercayaan nasional.
“Di tengah bencana Aceh, data kelistrikan yang tidak akurat sangat fatal. Ini bukan sekadar soal reputasi kementerian, tapi langsung menyangkut kebutuhan dasar masyarakat,” ujarnya.
Kemal menegaskan bahwa ia sangat setuju jika Bahlil dicopot dari jabatannya. Ia menilai Bahlil merupakan salah satu menteri yang sama sekali tidak memiliki sensitivitas ekologis.
Bahkan, menurut Kemal, ketika Bahlil menjabat sebagai Menteri ESDM, kebijakan untuk membuka ruang konsesi tambang bagi organisasi masyarakat justru semakin memperparah kerusakan lingkungan.
“Kita sudah melihat dampaknya, misalnya di Maluku Utara dan sejumlah daerah lain. Mungkin Aceh belum merasakan langsung karena proses penelusurannya belum dilakukan. Tapi dari pernyataan-pernyataannya sebagai Menteri ESDM, jelas ia tidak menunjukkan pemikiran atau komitmen untuk melakukan pemulihan ekologis,” tuturnya.
Dari hasil penelusuran Dialeksis dan pandangan para pakar, tiga tuntutan utama mengemuka; transparansi penuh dan real-time atas data pemulihan listrik Aceh, audit independen terhadap rangkaian kebijakan ESDM, dan pergantian Menteri ESDM sesegera mungkin, sebagaimana disuarakan berbagai akademisi, pakar energi, dan pengamat publik.
Rangkaian kontroversi yang membayangi Bahlil Lahadalia kini bukan lagi sekadar salah komunikasi atau kesalahan teknis. Situasi ini mencerminkan lemahnya kepemimpinan pada posisi strategis yang sangat menentukan hajat hidup masyarakat.
Desakan publik agar Presiden Prabowo segera mencopot dan mengganti Bahlil semakin menguat dari hari ke hari.
Dalam situasi ketika Aceh dan banyak wilayah Indonesia membutuhkan kepastian pasokan energi, pemerintah dituntut mengambil keputusan cepat dan tepat. Menurut banyak pihak, standar tersebut sudah tidak terpenuhi di bawah kepemimpinan Bahlil Lahadalia--dan karena itu, pergantian menteri dinilai bukan hanya perlu, tetapi mendesak.