Ketika Pintoe Aceh Dibuka oleh Tsunami
Font: Ukuran: - +
Penulis : Ratnalia Indriasari
Ratnalia Indriasari, Direktur Eksekutif Jaringan Survei Inisiatif. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Ini kisah dua puluh tahun lalu. Kisah ketika “pintoe” Aceh yang ditutup dari dunia dibuka paksa oleh tsunami.
Pagi itu, 26 Desember 2004. Gempa dengan kekuatan tinggi mengguncang. Tidak hanya merobek bumi, merusak banggunan. Tapi, tapi juga mematahkan hati penduduk bumi.
Sempat berhenti sejenak. Tapi, sejurus kemudian ie beuna raya lagi tinggi menggulung, mengejar, menerjang dan menerkam apa pun yang dijangkau.
Teriakan menggema, tangis pecah, dan asa hilang ketika menyaksikan daya rusak yang terjadi akibat Ie beuna yang kemudian dikenali sebagai tsunami. Dan, Aceh yang sudah lama tertutup, menjadi terbuka. Dunia menjadi tahu sebuah daerah di ujung Sumatera yang bernama Aceh.
Bukan hanya tahu tentang kerusakannya, tapi tahu segalanya. Ya masa lalunya, ya dinamika konfliknya dan juga identitas keislamannya, plus pandangan dunia rakyat Aceh.
Dengan kata lain, Tsunami dua puluh tahun lalu itu membuat dunia kembali mengenali Aceh, sekaligus ingin Aceh kembali bangkit menjadi lebih baik tanpa konflik. Sebab, hanya dengan perdamaianlah, pembangunan bisa menjadi jalan meraih kejayaan.
Dan, dengan bantuan dan dukungan lima puluh lebih negara dengan slogan “building back better” diusahakan untuk diwujudkan. Berkat kerja sama, tidak butuh waktu yang panjang, hingga 2009, Aceh yang luluh lantak sudah kembali bersolek hingga dirasa sudah cukup mandiri untuk melakukan kegiatan pembangunan lebih lanjut secara mandiri.
Dan itu ikut ditopang oleh berakhirnya permusuhan antara GAM dan RI yang menghasilkan MoU Helsinki untuk maksud membangun Aceh secara bersama yang secara regulasi dihadirkan pada 2006 dalam bentuk UUPA.
Jika saat ini kita menyadari bahwa kemajuan Aceh ternyata belum cukup memadai dicapai oleh kerja pembangunan yang dihasilkan oleh pemimpin Aceh sendiri hasil Pilkada, itu karena kita meninggalkan kunci utamanya, yakni kerja sama yang fleksibel dalam skala luas sebagaimana yang pernah terjadi pada masa rehabilitasi dan rekontruksi.
Kita terlalu cepat melepas ikatan komunikasi dan interaksi dengan dunia karena merasa bahwa Aceh bisa bangkit dengan kekuatan yang dimiliki. Paska 2009, pelan tapi pasti bahkan momen peringatan tahunan tsunami Aceh tidak lagi mampu mendatangkan tokoh-tokoh penting dari negara-negara yang dulu pernah begitu menyayangi kita, Aceh.
Padahal jelas bahwa kemajuan pembangunan kuncinya ada pada level kolektif, bukan pada level individu. Pada level individu manusia Aceh memang dikenali sebagai pemberani. Pramoedia Ananta Toer bahkan memuji orang Aceh yang disebutnya berani sendiri.
Namun, untuk mewujudkan kemajuan yang dibutuhkan adalah keberanian pada level kolektif. Bukan hanya yang menghimpun Aceh Interest sebagaimana disebut Hasan Tiro, tapi juga harus berani menghimpun dukungan lewat kerja sama yang fleksibel dan dalam skala luas.
Melihat gerak politik Mualem - Dek Fadh yang membuka pintoe bagi semua pihak untuk membangun Aceh secara bersama, mengunjungi kampus guna meminta masukan, melakukan kunjungan politik di nasional dan bahkan melakukan kunjungan ke Thailand, semoga menjadi tanda bahwa kepemimpinan baru Aceh paham bahwa kemajuan Aceh hanya bisa diraih dengan kerja sama yang luas.
Dan, semoga pada peringatan Tsunami ke-21 tahun depan, Mualem bersedia mengundang wakil lima puluh lebih negara-negara yang dahulu pernah membantu Aceh keluar dari bencana. [**]
- Sambut Libur Akhir Tahun, Museum Tsunami Aceh Perrpanjang Jam Operasional
- Ribuan Peziarah Berdoa Kenang Dua Dekade Tsunami Aceh di Kuburan Massal Siron
- Refleksi 20 Tahun Tsunami Aceh, Kepala TDMRC USK: Gempa Besar Mengingatkan Kita untuk Tidak Lengah
- Dua Dekade Pasca Tsunami, Prof Sugimoto Ingatkan Fungsi Tugu Tsunami di Aceh