Semakin Keringnya Moral di Perjalanan Dinas KKR Aceh
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi kejadian SPPD fiktif di KKR Aceh. Foto: Ist
DIALEKSISIS.COM | Tajuk - Kasus perjalanan dinas KKR Aceh semakin menampar moralis pejabat publik di Aceh. Sungguh memalukan memang dan campur memuakkan karena roh suci tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh di cemari perjalanan dinas petugasnya yang diduga merugikan negara sebanyak 258.594.600.-
Kemarin kasus heboh pengadaan wastafel. Lalu sekarang, kasus perjalanan dinas KKR tahun 2022 lalu. Mereka, beberapa petugas publik di Aceh, sangat potensial jadi koruptor. Mereka akan sangat tega berbohong secara berjamaah dengan cara memalsukan keterangan seperti markup biaya hotel, bill penginapan fiktif, kelebihan bayar SPPD Bali, dll.
Lalu bagaimana menyikapi penyakit korupsi ini. Bisa jadi akarnya di saat rekrutmen kepegawaian yang tidak mencantumkan bersedia mundur manakala melanggar UU dan peraturan mengikat secara jabatannya, bahkan apakah ada gerakan meluas dari korban konflik secara bersama-sama masyarakat Aceh menjatuhkan sangsi sosial?
Kedua pertanyaan itu harus berlapis lagi dengan tetap di proses secara hukum, walaupun telah mengembalikan uang kerugian perjalanan dinas. Itu sebatas recovery terhadap kerugian uang negara tanpa menghapuskan delik hukumnya. Hal ini sejalan dengan UU No. 20 tahun 2001, di pasal 4 tegas menyatakan"pengembalikan uang itu tidak menghapus pidana", jika merujuk amanah UU maka kepolisian tidak berhak melanggar ketentuan UU yang mengatur tersebut.
Nyata kepolisian Polrestas Banda Aceh tidak menghentikan kasus SPPD fiktif itu dikarenakan akan dilakukan gelar perkara,"para pihak jangan salah paham terkait berita beredar. Sampai saat ini, Polresta Banda Aceh belum menghentikan kasus SPPD fikti itu," ujar Kanit Tipikor Ipda Zainur Fauzi. Kebijakan itu membuahkan apresiasi publik serta semakin menegasikan kesalahan informasi diterima masyarakat Aceh.
Tinggal semua pihak mengawal dan memastikan kasus ini tidak dipeti eskan serta tetap berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Jangan sampai masyarakat Aceh menilai terjadi ketidakadilan sedangkan hukum memberikan keadilan setara dimata hukum, Publik cerdas belajar dari kasus serupa di Kabupaten Simeulue, Aceh Besar, dan Aceh Tenggara. Kasus itu jadi rujukan dan penggangan semua pihak menilai apakah hukum tumpul keatas tapi tajam ke bawah.
Kesungguhan itu bisa dibuktikan dari kerja keras dari tim penyidik Polresta Banda Aceh menyelesaikan kasusnya guna menjaga kepercayaan serta marwah institusi kepolisian, sekaligus meningkatkan citra polisi di masyarakat Aceh. Jika kasus SPPD fikti KKR Aceh sengaja dibiarkan tidak berjalan, maka sudah pasti menimbulkan pertanyaan publik masih dapat dipercayakah institusi kepolisian? ketika itu terjadi maka jadi preseden buruk agar tidak terjadi tetap bergulir ke penyidikan hingga adanya kepastian hukun.
Semua akan terjawab dari waktu yang berjalan akhir dari kasus SPPD fiktif KKR Aceh, kepedulian kita mengawal hingga menjadikan ini pembelajaran bersama siapa pun tanpa terkecuali. Karena KKR Aceh 'kesucian' secara kelembagaan dan amanah berat dari kepercayaan korban konflik. Sudah seharusnya lembaga hadir bukan memberikan keuntungan perkaya diri pelaksananya, namun melayani dan menjalankan fungsi dan perannya adalah kewajiban melekat sebagai pejabat memperjuangkan hak - hak korban konflik sebagai penerima manfaatnya.
- Penyidik Polresta Banda Aceh Belum Hentikan Kasus Dugaan Korupsi SPPD Fiktif KKR Aceh
- Penyelesaian Kasus SPPD Fiktif KKR Aceh dengan Restorative Justice, MaTA: Tak Punya Dasar Hukum
- Praktisi Hukum Kasibun Daulay: Pengembalian Kerugian Negara Tidak Hapuskan Tindak Pidana Korupsi
- Korban Rumoh Geudong Curhat Kepada Wali Nanggroe