Aceh: Antara Lambang Perjuangan dan Kubangan Politik
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Syahril Ramadhan, pemerhati sosial dan politik sekaligus aktivis. Foto: for Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Aceh - Sejarah panjang perjuangan Aceh kembali menjadi sorotan. Syahril Ramadhan, seorang pemerhati sosial dan politik sekaligus aktivis, mengungkapkan pandangannya tentang dinamika politik dan semangat perjuangan masyarakat Aceh.
"Aceh memiliki sejarah panjang sebagai negara berdaulat sebelum dijajah Belanda pada abad ke-17," ujar Syahril melalui saduran tulisan di facebook.
Ia menjelaskan bahwa meskipun Aceh bergabung dengan Republik Indonesia pada 1945, semangat perjuangan tetap melekat dalam jiwa masyarakatnya.
Syahril menekankan bahwa Aceh selalu menjadi bagian integral dari setiap gerakan perlawanan di Indonesia. Mulai dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1953 hingga deklarasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976.
"Perjuangan GAM bertahan hampir 30 tahun. Jika bukan karena bencana tsunami, mungkin Aceh masih berperang atau bahkan sudah merdeka," tutur Syahril. Ia menambahkan bahwa kekuatan GAM terletak pada dukungan rakyat Aceh.
Menurut Syahril, kepemimpinan yang kuat, seperti yang ditunjukkan oleh Teungku Hasan Ditiro, menjadi kunci bertahannya semangat perjuangan. "Kepemimpinan ini tidak berakhir setelah beliau wafat. Modelnya teradopsi dalam situasi politik Aceh pasca-perdamaian," jelasnya.
Pasca-perdamaian, Komite Peralihan Aceh (KPA) dibentuk untuk memfasilitasi transisi mantan kombatan ke masyarakat sipil. Namun, Syahril mengamati bahwa KPA justru menjadi sayap politik Partai Aceh (PA).
"Walaupun ada kata 'Peralihan', tidak mudah menghilangkan aura politik dari mantan pejuang. Bangsa Aceh dikenal keras dan bangga dengan semangat juangnya," ungkap Syahril.
Ia memperingatkan bahwa karakteristik masyarakat Aceh yang pantang dihina dan direndahkan bisa memicu konflik baru. "Hanya butuh satu tokoh dengan ideologi keacehan yang kuat untuk membangunkan semangat pejuang Aceh," tegasnya.
Meski demikian, Syahril menekankan bahwa pandangannya hanyalah analisis yang bisa dipertimbangkan atau diabaikan. Ia mengajak masyarakat untuk melihat situasi Aceh saat ini dalam konteks sejarah panjang perjuangannya.
"Aceh masih dalam proses transisi politik pasca-perdamaian. Fondasi MoU Helsinki menjadi pijakan penting dalam menata hubungan Aceh dengan pemerintah pusat," tutup Syahril.