Aceh Suku, Bangsa Atau Suku Bangsa
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM| Banda Aceh - Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh menggelar diskusi, membaha soal Aceh. Apakah penduduk yang mendiami ujung barat pulau Sumatera ini merupakan suku, bangsa, atau suku bangsa.
Dalam diskusi dan sharing PRPRK Unsyiah ini, via zoom, Otto Syamsuddin Ishak dipercayakan sebagai narasumber. Ada 77 peserta dalam diskusi jarak jauh ini, Sabtu (28/11/2020).
Suasana diskusi hangat, beragam argument dengan sejumlah pertanyaan bermunculan dari peserta yang membuat Otto Syamsyuddin harus memberikan penjelasan. Pertanyaan itu antara lain:
Mengapa istilah ”Adat bak poe temerehoem hukoem bak syiahkuala, Qanun bak putroe phang resam bak Laksamana”. Bagaimana asal usul istilah tersebut bisa ada dan apa makna dari istilah tersebut bagi Aceh sendiri.
Bagaimana pendapat Otto tentang adanya pandangan Etnosentris pada setiap suku bangsa? Apakah politik yang bersistem kerajaan di Aceh menjadi faktor penting sehingga buku karya Zulyani Hidayah mengatakan “suku bangsa” terhadap Aceh?
Ada lagi pertanyaan lainya, apa maksud dan tujuan untuk diadakan adat kanduri Blang. Jika Aceh merupakan kumpulan komunitas politik lantas bagaimana dengan sistem kekerabatan di Aceh? Karena dibeberapa daerah kita lihat ada yang berdasarkan patrilineal dan matrilineal?
Ada lagi pertanyaan yang menyentil. Seorang peserta melihat Aceh ketinggalan dari suku bangsa karena tingkat generasi 2000 ke atas sudah kurang cinta terhadap keacehanya, terbukti banyak dari kaum akademisi dan anak muda yang telah banyak mengabaikan kekhususan keacehanya sendiri.
Mereka tidak menghargai Aceh bangsa banyak dicetuskan oleh kaum akademisi yang kurangnya mempehatikan unsur budaya, sedangkan proses di 2020-an ini telah timbul polemik menyamakan budaya dan agama.
Seperti menyamakan kanduri blang yang memvonis bid’ah jadi kalau berdebat tentang bi’ah itu akan melenyapkan suku bangsa, sedangkan suku bangsa kita masih memikirkan identitas asli Aceh, jadi apabila para kaum akademisi kurang mencintai keacehan kita takutkan akan mulai terkikis budaya keacehan. Bagaimana menurut bapak terkait hal ini?
Sebelum pertanyaan itu bermunculan, Otto yang menjadi narasumber dalam diskusi yang dimoderatori Muhammad Ikram dan notulis Raziyuddin, terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang etnisitas.
Menurut Otto, pada masa konflik menguat permasalahan Etnisitas sehingga muncul Aceh Pesisir. Etnisitas Di Aceh ini Muncul Pada Masa Konflik dan sampai sekarang masih tersisa. Menurut Buku Juliani Hidayah suku Bangsa itu terdiri dua suku (Orang-orang seketurunan) dan Bangsa (Komunitas Politik), jadi Gabungan dari dua kata tersebut bisa merujuk ke Etnonasionalisme.
Perpaduan bangsa-bangsa yang masuk ke Aceh akhirnya timbulah beberapa Kesenian yang bermacam ragam contohnya seperti Sedati, Saman, Rapai dan Ranup Lampuan yang merupakan Khas Melayu.
Otto menjelasdkan, sebutan Aceh muncul pada Abat 16 yang diambil dari Kesultanan Darusalam, jadi kurang tepat apabila Kita Menyebutkan Aceh Sebagai etnis bangsa diabad Ke-20an. Aceh merupakan komunitas politik yang diikat oleh Melayu dan islam.
Migrasi Penduduk Aceh dibagi Menjadi dua yaitu Melayu Tua (Gayo, batak dan Bugis) dan Melayu Muda (Melayu, Aceh, Minangkabau dan Jawa).
Aceh merupakan multi etnis dalam sebuah akronim yaitu merupakan Komposisi: Arab, Cina Eropa dan Hindia. Persilangan Etnis dan budaya itu yang membentuk bangsa Aceh, menurut Enderson bangsa itu merupakan komunitas politik seperti komunitas Perlak, Jempa dan lain lainya.
Aceh Merupakan lapisan-lapisan dari komoditas politik, jadi kita bisa simpulkan Aceh itu bukan etnis akan tetapi komoditas politik pada suatu wilayah teritorial yang muncul pada abat Ke 16.
“Kita tidak bisa meklaim bahwa Aceh ini milik satu etnis karena etnis yang ada di Aceh sama-sama etnis pendatang. Aceh itu bukan etnis, tetapi sebuah komoditas politik yang muncul pada abad 16 hal ini sama juga dengan kerajaan Perlak, Samudra Pasai, yang terdahulu memiliki komoditas politiknya sendiri,” kata Otto.
Pada abad 20 tidak lagi disebut komoditas politik akan tetapi lebih disebut dengan suku. Aceh tidak boleh dimonopoli oleh satu etnis, bangsa atau warga politik yang mengikat Aceh yaitu bahasa Melayu dan Agama Islam.
Mendapat penjelasan itu bermunculan pertanyaan dari peserta. Atas pertanyaan itu Otto memberikan penjelasan, Soal”Adat bak poe temerehoem hukoem bak Syiah Kuala, Qanun bak putroe phang resam bak Laksamana” dalam perpektif Sosiologi Politik dari generasi yang lalu, “adat bak poe temerehom” kehidupan kita sehari-hari dalam bernegara maupun berinteraksi sosial.
Semuanya mengacu pada kebiasan-kebiasaan yang berlaku disekitar kita yang dalam perfektif Durkeim itu dikatakan dengan fakta sosial yang mengacu pada adat- adat ini dikontruksikan oleh raja-raja terdahulu.
Artinya sebuah tradisi yang panjang dalam hal waktu yang turun temurun dari raja satu ke satunya lagi hingga sampai saat ini. ”hukoem bak syiahkuala” yaitu hukum yang berasal dari ulama yang membuat sebagian hukum atau sekarang syiah atau fikih.
Sedangkan ”Qanun bak putroe phang” mengacu pada kepada putroe Phang yaitu putri Pahang yang mana kerajaan Aceh Darusalam yang pernah menalukkan kerajaan pahang. Artinya Qanun kita harus mengacu pada melayu.”Resam bak Laksamana” turunan-turunan dari adat bak phoe temerehom hukoem bak Syiah kuala.Etnosentris pada suku bangsa.
Semua orang ingin meletakkan basisnya pada etnik. Semua cara pandang meletakkan pada etnis. Hal menjadi satu kelumrahan apa lagi dalam hal membagun identitas, sehinga politik identitas menguat. Di zaman moderen orang mencoba membentuk homogenitas. Etnosentris cara pandang yang hidup hingga sekarang sudah mulai bangkit lagi, jelas Otto
Menurut Otto, sistem politik lama sudah menjadi keharusan yang sudah tidak bisa kita tolak mau kita akui atau tidak. Sebagai sebuah fenomena sosial masa lalu itu tetap ada, seperti kearifan lokal yang dimana merujuk pada masa lalu seperti adat yang turun menurun.
Soal Kanduri Blang, adalah salah satu bentuk dari kebudayaan melayu, kenduri blang merupakan sebuah praktek untuk turun ke sawah, maka ada aturanya sendiri yang jadi masalah di Aceh, kalau kanduri blang ini adat bagaimana kesinambunganya ke Syariat?
Apakah didalam islam itu diperbolehkan. Adat dengan agama hubunganya seperti zat ngoen sipeut jadi ada kesinambungan antara hukum dan adat. Setiap tindakan manusia mempunyai ritual.
Setiap keluarga besar membawa tradisinya sendiri seperti Matrileneal yang terkenal di Sumatra Barat yang kental akan matrilineal sama seperti di Aceh juga ada sistem matrilineal seperti dipegunungan.
Islam selalu Patrilineal, karna Konteks sosiologi munculnya islam adalah sebuah etnis berbasis Patrilineal oleh karena itu pengikatnya kembali kedua sistem patrilineal dan matrilineal keduanya diikat kembali dalam Koteks Aceh kepada agama, sejauh tidak melanggar agama kedua tradisi budaya bisa hidup.
Apalagi untuk sekarang ini dengan negara yang demokratis jadi tidak bisa memaksakan harus patrilineal ataupun sebaliknya. Jika kita paksakan supaya matrelineal semua itu juga tidak bisa. Konteks Politik Demokratis Keduanya harus bisa hidup, masalahnya konteks Aceh semuanya harus merujuk kepada islam.
Ini adalah sebuah fenomena. Masalahnya bagaimana kita merespon fenomena dalam konteks Aceh. Apa yang dimaksudkan dengan keAcehan itu sama sekali definisi yang jelas yang dilakukan oleh Generasi yang sekarang jadi kembali lagi pada pemahaman kita kepada masalalu pada masa konflik di timbulkan isu aceh sebagai etnis, jadi apakah Aceh ini sebagai etnis atau komonitas politik yang muncul pada masalalu.
Pada masa konflik banyak penyimpangan-penyimpangan isu. Orang Aceh Harus pandai Bahasa Aceh, sebenarnya Aceh ini adalah komoditas politik yang diikat oleh bahasa melayu dan agama Islam jadi identitas. Kita lihat dari segi Etnis masyarakat Aceh ini adalah migran, datang dari kawasan Hindi-China yang dinamakam sebagai Melayu tua dan Melayu Muda, jelas Otto dalam diskusi via zoom ini. (baga)