Senin, 26 Mei 2025
Beranda / Berita / Aceh / ACSTF: Revisi UUPA, Perjelas Kekhususan dan Kewenangan Pemerintah Aceh

ACSTF: Revisi UUPA, Perjelas Kekhususan dan Kewenangan Pemerintah Aceh

Minggu, 25 Mei 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Koordinator program ACSTF, Nina Noviana. [Foto: dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Achehnese Civil Society Task Force (ACSTF) menyikapi Upaya revisi Undang-undang No.11/2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh sebagai Langkah penting dan strategis karena memiliki relevansi yang kuat atas perkembangan situasi objektif politik Aceh dan nasional saat ini. 

Pemerintah dan Pemerintah Aceh wajib memperkuat dan menyamakan pemahaman serta menginternalisasikan komitmennya untuk menghormati dan mengefektifkan implementasi UUPA sesuai dengan kesepakatan politik yang sudah dituangkan dalam perjanjian bersama antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki, 15 Agustus 2005. 

ACSTF bersama organisasi masyarakat sipil Aceh dan nasional yang tergabung dalam Jaringan Demokrasi Aceh (JDA) terlibat aktif dalam advokasi Rancangan Undang-undang tersebut pada 2005-2006, JDA memiliki harapan saat itu, bahwa UUPA menjadi produk legal “konstitusi Aceh” dan “roadmap peacebuilding” untuk memulihkan dan merekonstruksi Aceh agar terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Aceh.

Harapan besar tersebut disampaikan oleh Koordinator program ACSTF, Nina Noviana, merespon agenda Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang sudah menyelenggarakan paripurna penetapan usulan revisi UU No.11/2006 pada 21 Mei 2025 di Gedung DPR Aceh. 

Apalagi saat ini, draf revisi tersebut telah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 23 Mei 2025 melalui sekretaris jenderal DPR RI.

"ACSTF menyambut baik keputusan DPRA mengenai perubahan UU Pemerintahan Aceh (UUPA) yang awalnya ada 18 pasal yang diubah, tapi terakhir hanya merevisi 8 pasal dan menambah 1 pasal baru dalam draft UUPA," sebut Novi, sapaan akrab Nina Noviana, dalam siaran pers resmi yang diterima pada Minggu (25/5/2025).

Namun demikian, Novi menekankan agar DPR Aceh dapat menyampaikan ke publik atas ketentuan-ketentuan perubahan tersebut, jadi publik mesti mengetahui dan memahaminya, terutama semangat revisi ini menjadi Langkah untuk mengefektifkan pelaksanaan UUPA ke depan, karena harus disadari bahwa dalam 19 tahun pelaksanaannya ambiguitas kewenangan antara pemerintah dan pemerintah Aceh sangat jelas.

“Pemerintah Aceh terutama aparatur pemerintah Aceh bertindak jauh dari mentalitas bahwa Pemerintah Aceh memiliki kekhususan daripada provinsi lainnya di Negara Republik Indonesia ini," jelas Novi.

Selanjutnya, ACSTF juga mengingatkan DPR Aceh dan Pemerintah Aceh agar semangat revisi ini bukan hanya sebatas kepentingan fiscal semata, yaitu perpanjangan dana otonomi khusus semata, sehingga penambahan pendapatan dapat melalaikan para pimpinan politik dan elit ASN Aceh dengan anggaran besar tersebut. 

Buktinya, 19 tahun terakhir, alokasi dana otsus tidak tepat sasaran sehingga pertumbuhan ekonomi Aceh lamban dan rendah.

"Namun, kita harapkan pengelolaan dana Otsus ke depan dapat diarahkan pada pengembangan Sumber Daya Manusia Aceh dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh dengan menitik beratkan sektor ril dengan memastikan segala sarana-prasarana dapat meningkatkan hasil produksi dan nilai tambah melalui hilirisasi, sehingga tata niaga Aceh dapat tumbuh dan berkembang lebih cepat," tegasnya.

Ingat, selama 19 tahun terakhir, sektor pertanian berkontibusi tinggi dalam pertumbuhan ekonomi Aceh, menciptakan lapangan kerja dan menekan angka pengangguran, karena 70 % penduduk Aceh tinggal di pedesan dan petani.

Jadi, sambung Novi lagi, organisasi Masyarakat sipil Aceh yang tahun 2024 telah menyampaikan pokok-pokok pikirannya, berharap dengan semakin jelasnya kewenangan Pemerintah Aceh, maka untuk mengefektifkan implementasi UUPA dua puluh tahun ke depan perlu memastikan delapan hal.

Pertama, partisipasi publik semakin luas dalam agenda Pembangunan; Kedua, memperkuat transparansi pengelolaan dana otonomi khusus. Ketiga, menjalankan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis masyarakat adat.

Keempat, Perlindungan Hak Masyarakat Adat (Revisi Pasal 15 dan 23) mengakui dan mempertegas hak masyarakat adat atas tanah ulayat serta kewenangan dalam pengelolaannya, sesuai putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Kelima, Transparansi Pengelolaan SDA mewajibkan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam perizinan tambang dan perkebunan, menekankan pentingnya audit lingkungan hidup sebelum penerbitan izin.

Selanjutnya Keenam, Penyempurnaan mekanisme resolusi konflik tanah dengan melibatkan peran aktif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKRA); Ketujuh, Perlindungan Perempuan seperti mengatur hak kepemilikan tanah bagi perempuan Aceh, terutama dalam konteks waris dan akses ekonomi; Kedelapan, Penegakan sanksi pidana dan administratif bagi korporasi yang melakukan perampasan tanah atau perusakan lingkungan.

"Harapan ACSTF agar kewenangan Aceh semakin jelas dan kuat, terutama atas produk qanun Aceh, maka beberapa isu tersebut dapat ditindaklanjuti, sehingga qanun Aceh menjadi produk regulasi untuk menjalankan UUPA tersebut. ACSTF melihat ini sebagai kemajuan signifikan, tapi ini baru awal," jelas Novi.

Terakhir, ACSTF mengingatkan agar DPR Aceh, anggota DPD/DPR-RI Aceh dan pemerintah Aceh dapat mengawal proses revisi ini di Jakarta, memastikan pembahasan revisi ini melibatkan perwakilan Aceh.

"Pengalaman tahun 2005-2006 keterlibatan organisasi Masyarakat sipil sangat penting, maka DPR Aceh dapat memimpin pengawalan ini dengan melibatkan pula Organisasi Masyarakat Sipil Aceh, karena kekuatan OMS dengan jaringan di luar institusi politik dapat menjadi daya pengaruh alternatif dalam meyakinkan Pemerintah Nasional,“ tutup Novi. [*]


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
hardiknas