DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Wakil Ketua Umum Partai Aceh, Suadi Sulaiman atau yang akrab disapa Adi Laweung mengatakan bahwa tanggal 7 Juli selalu meninggalkan jejak bersejarah di benak rakyat Aceh, terutama para kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan masyarakat luas yang pernah menapaki getirnya konflik puluhan tahun silam.
Tepat di hari ini, 18 tahun lalu, Partai Aceh (PA) resmi dideklarasikan sebagai salah satu manifestasi perjanjian damai MoU Helsinki, yang menandai babak baru perjuangan Aceh melalui jalur politik.
Ia menegaskan, momen ini seharusnya menjadi titik refleksi kolektif untuk memperkuat kembali tekad perjuangan politik demi hak-hak rakyat Aceh.
“Hari ini adalah catatan perjuangan rakyat Aceh yang tertulis secara utuh dalam hati para kombatan dan seluruh insan di bumi Serambi Mekkah,” ujar Adi Laweung kepada Dialeksis.com, Senin (7/7/2025).
Ia mengenang bagaimana perjalanan panjang dan berliku harus dilalui sebelum nama “Partai Aceh” resmi digunakan. Menurutnya, di awal pendirian, partai ini sempat akan dinamai Partai GAM, namun menghadapi berbagai tantangan regulasi dan penolakan di tingkat nasional.
“Perjalanan itu tidak mudah. Ada penolakan, ada negosiasi panjang, tetapi para kader kita bersabar dan bertahan. Akhirnya nama Partai Aceh diterima dan berdiri tegak hingga hari ini,” sambungnya.
Sejak saat itu, Partai Aceh memang menjadi kekuatan dominan di parlemen Aceh dan di tingkat pemerintahan daerah.
Kursi bupati, wali kota, hingga gubernur pernah dipegang kader Partai Aceh. Namun Adi Laweung mengingatkan bahwa kejayaan tersebut tidak boleh membuat para kader terlena.
“Kemenangan politik kita dulu adalah hasil kerja keras dan kerja sama yang solid. Kini 18 tahun berlalu, kita harus terus membenahi diri agar bisa kembali memperjuangkan aspirasi masyarakat Aceh dengan lebih baik,” tandasnya.
Ia juga mengajak seluruh kader dan simpatisan Partai Aceh untuk mengingat kembali spirit perjuangan para pendahulu, terutama Paduka Yang Mulia Almarhum Tgk. Chik Di Tiro Hasan bin Muhammad.
“Inilah saatnya kita menundukkan kepala, mengheningkan cipta, dan mengambil ibrah dari perjuangan beliau, agar semangat membela hak rakyat Aceh tidak pernah padam,” ujar Adi Laweung.
Adi Laweung menilai Milad ke-18 Partai Aceh adalah kesempatan untuk berbenah, berkonsolidasi, dan memperbaiki relasi politik dengan rakyat Aceh.
Menurutnya, beberapa tahun terakhir, Aceh sempat mengalami keterpurukan dan kekacauan ketika tidak dipimpin oleh kader Partai Aceh, yang menurutnya gagal dikendalikan oleh para penguasa di pemerintahan.
“Kita sudah melihat betapa carut-marutnya Aceh ketika dipegang orang-orang yang tidak memahami denyut nadi rakyat Aceh. Tidak seharusnya kekuasaan dijadikan tempat meraup kepentingan pribadi,” tegasnya.
Partai Aceh lahir sebagai hasil transformasi politik Gerakan Aceh Merdeka, pasca-ditandatanganinya MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Salah satu poin utama dalam MoU adalah memberikan ruang bagi lahirnya partai politik lokal di Aceh, yang kemudian difasilitasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui regulasi resmi.
Partai Aceh pun menjadi simbol penyaluran aspirasi mantan kombatan GAM dan masyarakat luas, yang merindukan keadilan dan kesejahteraan setelah puluhan tahun perang.
Visi Partai Aceh sendiri adalah membangun citra positif berpolitik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekaligus menegakkan semangat Nota Kesepahaman Helsinki. Sementara misinya mengubah paradigma dari revolusi menuju pembangunan dan kesejahteraan rakyat Aceh.
Adi Laweung menegaskan, nilai-nilai ini tidak boleh lekang oleh waktu, meskipun tantangan politik di era modern jauh lebih kompleks.
“Partai Aceh bukan hanya soal sejarah, tetapi juga masa depan Aceh. Karena itu kami bertekad menjadi sandaran rakyat Aceh yang ingin perubahan nyata,” pungkasnya. [nh]