Ahli Cagar Budaya Soroti Kondisi Pelestarian di Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Arn
Ambo Asse Ajis, S.S., M.Si., seorang arkeolog sekaligus anggota tim ahli cagar budaya (TACB) di Aceh. Foto: Dialeksis.com
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kondisi cagar budaya di Aceh kembali menjadi perhatian setelah sejumlah situs bersejarah dilaporkan mengalami kerusakan akibat minimnya perawatan dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelestarian warisan sejarah. Hal ini disampaikan oleh Ambo Asse Ajis, S.S., M.Si., seorang arkeolog sekaligus anggota tim ahli cagar budaya (TACB) di Aceh.
“Aceh memiliki kekayaan sejarah yang luar biasa, mulai dari era Prasejarah (Pra Aksara), era Hindu -Budha, era Islam dari Kesultanan Perlak hingga Kesultanan Aceh Darussalam yang berkontribusi hingga lahirnya peradaban Islam di Asia Tenggara hingga saat ini. Namun, banyak situs yang kondisinya mengkhawatirkan karena faktor alam, aktivitas manusia, dan kurangnya upaya konservasi yang memadai,” ujar Ambo Asse saat ditemui Dialeksis pada Jumat (13/12/2024).
Ambo Asse menyoroti sejumlah situs bersejarah yang saat ini membutuhkan perhatian untuk pengembangan dan pemanfaatan yang lebih serius, baik itu dalam kewenangan nasional, provinsi Aceh maupun pemerintah kabupaten/kota di Aceh. Seperti Masjid Indrapuri, Benteng Indrapatra, dan situs peninggalan Kesultanan Aceh di Gampong Pande upaya pengembangan hingga pemanfaatan harus dimaksimalkan dengan kolaborasi antar lembaga. Artinya, kolaborasi harus maoksimal.
“Ada beberapa situs yang mengalami degradasi fisik karena pelapukan, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kerusakan akibat aktivitas manusia, seperti penambangan pasir ilegal di sekitar situs dan pembangunan yang tidak memperhatikan keberlanjutan,” jelas Anggota Perhimpunan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) komisariat Aceh-Sumut ini.
Menurut Ambo Asse, tantangan terbesar dalam pelestarian cagar budaya di Aceh adalah meski ada kemajuaan saat ini tetapi masih belum maksimal. Artinya perlu diperkuat lagi sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta.
“Pelestarian cagar budaya bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat sebagai pemilik budaya itu sendiri. Jika semua pihak tidak bekerja sama, sulit untuk melestarikan situs-situs ini agar bisa dinikmati oleh generasi mendatang,” katanya.
Ambo Asse Ajis juga menggarisbawahi pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam setiap situs cagar budaya.
“Kita harus memberikan pemahaman bahwa cagar budaya bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga aset yang dapat meningkatkan ekonomi melalui sektor pariwisata jika dikelola dengan baik,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengapresiasi sejumlah inisiatif yang sudah dilakukan, seperti restorasi Masjid Raya Baiturrahman dan program digitalisasi arsip sejarah. Namun, ia menekankan bahwa upaya tersebut harus diimbangi dengan perencanaan jangka panjang yang melibatkan berbagai pihak.
“Kita harus berpikir lebih strategis. Jangan hanya fokus pada restorasi fisik, tetapi juga pengelolaan jangka panjang, termasuk dokumentasi dan promosi agar warisan budaya Aceh dikenal lebih luas,” pungkas Ambo Asse Ajis.