Akademisi: Perubahan UUPA Perlu, Bagaimana dengan Pasal Kewenangan Afirmatif
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Foto: Dialeksis/doc.pribadi
DIALEKSIS.COM | Aceh - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Zainal Abidin SH MSi MH mengatakan, perubahan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) merupakan suatu keniscayaan agar norma dalam UUPA lebih aplikatif, fungsional dan komplementer sehingga benar-benar dapat dijadikan instrumen pencapaian kesejahteraan rakyat Aceh.
Akan tetapi, lanjut dia, di saat sebuah Undang-undang lahir atau mengubahnya dilakukan dalam gelanggang politik. Gelanggang yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan politik.
“Jamak diketahui gelanggang politik dinamis bertaut masa, ketika suatu UU lahir bisa saja di masa politik berwajah responsif, akomodatif dan populis akan tetapi seiring masa berlalu raut rupa politik juga akan berubah,” ucap Zainal Abidin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (27/2/2022).
Menurutnya, perubahan suatu UU akan sama atmosfirnya tatkala sebuah UU lahir. Aksioma ini menjadi landasan bagi Aceh untuk mengubah UUPA, bahwa UUPA perlu diubah.
Tetapi, kata dia, amat penting dibangun terlebih dahulu komunikasi, pendekatan atau komitmen politik dengan otoritas perubahan UU dan dikawal ketat sehingga norma yang diubah adalah norma yang diusulkan dari Aceh (hasil kesepakatan rakyat Aceh), dan tidak merambah ke norma lainnya.
Ia menegaskan, bila ditoleh UUPA ke belakang, maka terdapat norma UUPA yang tidak dapat diberlakukan lagi karena sudah dicabut (Pasal 256) dan diubah (Pasal 67) oleh MK. Pasal UUPA yang kewenangan penanganan keberatan hasil pemilihan tidak lagi berada di MA (Pasal 74 ayat (2)).
Lalu, lanjut dia, dana otsus sebagaimana diatur dalam Pasal 183 perlu diubah, guna perpanjangan dana Otsus.
Untuk itu, menurut dia, jikalau berkehendak untuk mengubah UUPA terbatas itu saja dan perubahan-perubahan pasal-pasal tersebut sebenarnya tidak berkait dengan kesejahteraan rakyat Aceh selain yang diatur dalam Pasal 183 UUPA.
“Sementara pasal lainnya seperti Pasal 228 tentang pembentukan Pengadilan HAM, Pasal 251 perihal gelar pejabat yang dipilih merupakan contoh pasal yang belum dilaksanakan dan banyak sekali pasal-pasal lainnya bermasalah dalam pelaksanaannya (seperti bertentangan dengan perundangan lain) serta beberapa peraturan pelaksana belum dikeluarkan sampai saat ini,” jelasnya.
Sehingga, kata dia, dapat disimpulkan bahwa perubahan UUPA perlu, tetapi yang paling penting bagaimana mencari jalan keluar pasal-pasal kewenangan afirmatif dan yang terkendala pelaksanaannya dapat dilaksanakan. Ia juga mengaku yakin akan dapat mensejahterakan rakyat Aceh.
“Jikalau Qanun sebagai norma pelaksana selama ini banyak kendala, kita coba beralih mengupayakan lebih banyak Peraturan Pemerintah, karena salah satu fungsi PP adalah untuk melaksanakan UU. Bila kita takut ruang perubahan akan menjalar ke banyak hal, maka opsi terakhir ini dapat dipikirkan,” tutupnya.