DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Provinsi Aceh dikenal memiliki garis pantai panjang dengan potensi perikanan yang sangat besar.
Namun, di balik melimpahnya sumber daya laut, kondisi kesejahteraan nelayan tradisional di Aceh justru masih jauh dari kata sejahtera.
Hal ini diungkapkan oleh akademisi Universitas Teuku Umar (UTU), Rahmawati, S.P., M.Si, yang menilai ada banyak faktor struktural maupun sosial yang membuat nelayan tetap hidup dalam kondisi rentan.
“Kesejahteraan nelayan tradisional di Aceh hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan serius. Mereka sering kesulitan melaut karena cuaca ekstrem seperti badai, gelombang tinggi, dan hujan deras. Dampaknya jelas, hasil tangkapan menurun dan pendapatan ikut merosot,” ujar Rahmawati kepada media dialeksis.com, Senin, 8 September 2025.
Selain faktor alam, kata dia, keterbatasan modal membuat nelayan sulit berkembang. Banyak nelayan yang masih bergantung pada toke bangku (agen pemberi modal) sehingga terjebak dalam lingkaran hutang.
Di sisi lain, akses terhadap BBM bersubsidi semakin sulit, sementara sarana melaut yang dimiliki masih jauh dari modern.
“Kalau dilihat dari sisi sosial, motivasi belajar masyarakat pesisir juga masih rendah. Pendidikan yang terbatas semakin memperburuk kondisi kesejahteraan nelayan, karena tanpa pengetahuan yang cukup mereka sulit beradaptasi dengan perkembangan teknologi maupun tata kelola usaha perikanan,” tambahnya.
Menurut Rahmawati, paradoks besar yang terjadi di Aceh adalah potensi laut yang melimpah tidak otomatis membuat nelayan sejahtera.
Hal ini disebabkan oleh pola hidup konsumtif, ketergantungan pada pemberi modal, dan lemahnya posisi tawar nelayan di pasar.
“Nelayan kita masih cenderung menjadi price taker. Artinya, mereka tidak bisa menentukan harga, hanya menerima berapapun harga yang ditetapkan pembeli atau agen. Bahkan ketika mendapat bantuan pemerintah, sering kali bantuan itu justru dialihkan untuk kebutuhan konsumtif, bukan produktif,” jelasnya.
Ia menegaskan, kombinasi dari faktor sosial-ekonomi ini membuat nelayan tradisional sulit keluar dari jerat kemiskinan, meskipun potensi sumber daya laut Aceh sangat besar.
Rahmawati menekankan bahwa jalan keluar bagi nelayan tradisional tidak bisa dicapai dengan solusi instan. Diperlukan strategi jangka panjang yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, hingga ekologi secara bersamaan.
“Pemerintah jangan hanya memberi bantuan sekali jalan, tetapi harus memastikan akses modal, teknologi, dan infrastruktur benar-benar merata. Termasuk distribusi BBM bersubsidi yang tepat sasaran serta penyediaan alat tangkap ramah lingkungan,” paparnya.
Ia menambahkan, penguatan kelembagaan nelayan seperti koperasi dan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) juga sangat penting. Dengan dukungan dan pendampingan berkelanjutan, nelayan akan memiliki posisi tawar yang lebih baik di pasar.
“Diversifikasi usaha juga harus didorong. Nelayan tidak bisa hanya bergantung pada hasil tangkapan, tetapi perlu mengembangkan usaha turunan yang inovatif untuk keberlanjutan ekonomi keluarga mereka,” ungkapnya.
Selain itu, pendidikan dan literasi finansial dianggap kunci utama untuk mendorong perubahan. Dengan bekal pengetahuan, nelayan bisa lebih bijak mengatur keuangan dan beradaptasi dengan tantangan zaman.
“Kalau strategi-strategi ini dijalankan secara konsisten, saya yakin kesejahteraan nelayan Aceh bukan hanya sekadar harapan, melainkan sesuatu yang bisa benar-benar diwujudkan,” tutup Rahmawati.