Alasan Originalitas, AJI Banda Aceh: Pakai Hati Nurani! Stop Comot Berita dari Media Lain
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Juli Amin. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah jurnalis di Aceh mengeluhkan soal eksistensi media sosial dengan konten berita di Instagram yang suka curi-curi berita dari media siber lain tanpa menyebutkan sumber atau menyebutkan sumber tapi tanpa permisi.
Hal yang mereka sebelin ialah masalah jumlah views, karena konten berita di media siber tempat jurnalis bekerja sangat sedikit jumlah pembaca, tetapi ketika konten berita dicopas kemudian dimasukkan ke media sosial di Instagram jumlah pembacanya jadi banyak di sana.
Selain perihal tadi, para wartawan di Aceh juga mengaku kesal konten mereka dicuri lantaran mereka sudah bersusah payah mencari berita, klarifikasi informasi, cover both side, dan segala macamnya.
Akan tetapi oleh pelaku media sosial dengan konten berita di Instagram, dengan antengnya mereka mencomot konten berita dari media lain tanpa ada permisi.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh Juli Amin juga merasakan hal serupa. Menurutnya, dengan bertambahnya “media-media baru” di Aceh bukanlah keadaan yang layak diacungi jempol, karena media baru sekarang hanya mengejar kuantitas, bukan kualitas pemberitaan.
“Begitulah kondisi hari ini dek. Susah kita memberi tanggapan. Soalnya etika jurnalistik sudah tidak dikedepankan lagi,” ujar Juli Amin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Minggu (29/5/2022).
Selain kode etik, kata dia, dalam dunia jurnalistik juga harus mengedepankan hati nurani, sehingga dengan alasan originalitas tidak dibenarkan mengopas atau mencomot pemberitaan dari media lain tanpa menyebutkan sumber media yang diambil.
“Dalam 11 pasal Kode Etik Jurnalistik (KEJ) semua menjelaskan hal tersebut untuk melaksanakan fungsi jurnalistik sebagai sebuah profesi yang mulia,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua AJI Kota Banda Aceh ini juga membenarkan bila pengangkangan KEJ disebabkan karena arah “media” sekarang sudah berorientasi kepada bisnis sehingga pelaku-pelaku di dalamnya sengaja melabrak KEJ supaya profitable.
Belum lagi, kata dia, ketika seseorang mendirikan perusahaan media (media siber/cetak/media sosial) dengan visi-misi bahwa bisnis adalah tujuan utama. Apalagi jika orang-orang di dalamnya juga bukan dari latar belakang jurnalis murni.
Selaku Ketua AJI Kota Banda Aceh, Juli Amin menyatakan bahwa pihaknya terus memberikan penguatan kapasitas etik kepada anggota, meski anggota AJI banyak didominasi oleh wartawan yang bekerja kepada media siber/cetak, bukan anggota pemilik media.
“Kita terus dorong kapasitas etik kepada anggota, yaitu penguatan kapasitas untuk tidak keluar dari KEJ dalam menjalankan profesi,” pungkasnya.
Sekedar informasi, media online dan media sosial dengan konten berita keduanya sangat berbeda. Orang-orang terkadang salah paham memahami sifat dari kedua media ini.
Dari sisi peruntukannya, media online lebih ditunjukkan kepada produk jurnalistik berupa pemberitaan, sedangkan medsos hanya bersifat komunikasi sosial saja.
Dilihat secara aspek legal, media online harus berbadan hukum atau memiliki izin praktik, sedangkan media sosial tidak memerlukan hal demikian karena memang sifatnya hanya sebatas sarana interaksi, tukar informasi dan sebagainya.
Hanya saja, pemilik akun di medsos juga sering terlihat menyebar berita dan dikonsumsi oleh masyarakat. Padahal mereka bukan pelaku jurnalisme atau bukan insan pers.
Sebagai contoh supaya masyarakat Aceh lebih memahami perbedaan sifat kedua jenis media ini, media online seperti Dialeksis.com atau situs portal berita lainnya yang sudah terdaftar dewan pers.
Sedangkan media sosial dengan konten berita adalah akun-akun media sosial dengan konten berita sebagai penyajian. [Akh]