APBN 2022 dan Kerakusan Elit
Font: Ukuran: - +
Reporter : akhyar
Seorang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Syukri Abdullah [Dok. Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2022 mencapai 4,51 persen hingga 4,85 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut bernilai setara dengan Rp 808,2 hingga Rp 879,9 triliun.
Adapun target defisit tahun depan menurun dibandingkan outlook defisit APBN 2021, yaitu sebesar 5,7 persen terhadap PDB atau setara Rp 1.006,4 triliun.
Setelah APBN ini dibagi-bagikan melalui pagu indikatif ke beberapa lembaga dan instansi, alhasil membuat banyak yang menjerit dan mengeluhkan jumlah APBN yang diterima.
Para lembaga dan instansi ini kemudian berduyun-duyun mengusulkan tambahan anggaran dalam APBN 2022. Diantara yang meminta tambahan antara lain adalah Polri, KPK, Kemenparekraf, Kominfo, BUMN, Kementerian Investasi, KKP, dan masih banyak lagi.
Ada pula kementerian yang mengaku akan mencari dana tambahan hinga ke Bank Dunia akibat APBN yang dinilai kurang mencukupi untuk menjalankan tugas pada tahun 2022 mendatang.
Sebagaimana tertulis dalam RKP 2022, Kebijakan belanja negara akan difokuskan pada upaya peningkatan kualitas SDM (kesehatan, perlindungan sosial, dan pendidikan), peningkatan infrastruktur dasar dan digital, serta penguatan kelembagaan berupa reformasi birokrasi dan regulasi.
Namun, di saat negara akan menghadapi ancaman ekonomi yang menunggu tahun depan, lalu dengan penyediaan APBN 2022 yang dirasa kurang mencukupi oleh beberapa lembaga dan instansi kepemerintahan, apakah Indonesia ke depan akan baik-baik saja?
Seorang Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Dr Syukri Abdullah menilai kondisi Indonesia tahun 2022 tidak akan baik-baik saja.
Ia menyebut lembaga dan instansi yang meminta tambahan lebih anggaran APBN 2022 sebagai bentuk kerakusan elit yang luar biasa.
Kerakusan ini, sebut Dr Syukri membuat daerah semakin terjepit. Karena berdasarkan pemantauannya selama Covid 19 ini, ada dana yang sampai ke daerah dalam keadaan terpotong setengah atau bersifat tertunda.
Sehingga hal ini, kata dia, membuat daerah tidak punya kekuatan untuk menopang persoalan Covid yang melanda seluruh nusantara.
Sementara itu, dalam mendefinisikan "kerakusan elit," Dr Syukri menjelaskan, setiap unit kerja atau unit organisasi besar punya kecenderungan untuk meminta lebih alokasi anggaran dari pada yang dibutuhkan.
Kecenderungan ini, kata dia, disebut dalam teori ekonomi yang bernama "Budgetary Slack" yang berarti kesenjangan anggaran.
Dr Syukri mencontohkan, jika misalnya kebutuhan seseorang adalah 10 M, maka dia akan meminta lagi melebihi 10 M.
Seseorang itu, kata Dr Syukri tidak akan meminta jumlah pas-pasan sesuai estimasinya. Tetapi tambahan anggaran yang di dapat itu akan membuat dia lebih enjoy dan nyaman dalam melaksanakan tugas.
Dan kalau pun bisa, lanjutnya, membuat citranya lebih bagus sekalian.
"Jadi, anggaran lebih itu akan menampakkan dia bekerja dengan baik karena dia bisa melampaui target yang telah ditetapkan," jelas Dr Syukri kepada Dialeksis.com, Kamis (17/6/2021).
Dalam pendekatan teori lain, Dr Syukri menyandingkan kerakusan elit ini dengan teori prinsipal agen atau Agency Theory.
Dimana seseorang yang diberi kepercayaan, jelas Dr Syukri, akan menggunakan kepercayaan tersebut untuk memenuhi kepentingan pribadi, kelompok atau organisasinya.
Orang yang seperti ini, kata Dr Syukri, jika harus memilih tugas prioritas akan lebih memilih tugas yang bisa membuat dia nyaman dari pada pekerjaan lain yang mungkin lebih bermanfaat kepada banyak orang.
Karena dalam rancangan anggaran, lanjut Dr Syukri, ada rancangan tugas prioritas dan alternatif.
Ia mencontohkan, misalkan ada 100 tugas prioritas, kemudian uang anggaran yang ada hanya bisa mengakomodir 80 prioritas, maka tugas-tugas tersebut akan dilakukan tetapi melewati proses seleksi yang luar biasa.
Kala anggaran pas-pasan, jelas Dr Syukri, tugas prioritas yang dilakukan adalah yang membuat pejabat ini nyaman atau bisa meningkatkan citranya. Biasanya juga akan di mark up secara total.
Fenomena ini, lanjut dosen itu, bisa dilihat dari realisasi-realisasi anggaran pada tahun sebelumnya.
Dr Syukri menjelaskan, ketika ada organisasi yang meminta anggaran 100 kemudian habisnya 90 maka sisa 10 ini akan menjadi sia-sia.
Jumlah sisa ini, lanjut Dr Syukri karena sebelumnya pejabat itu menggunakannya secara besar, sehingga pada penghabisan sisa anggaran dialokasikan pada program alternatif yang tidak tepat sasaran.