Asuransi Syariah Pertanian dan Peternakan, Mungkinkah Diwujudkan ?
Font: Ukuran: - +
Seiring dengan lahirnya Undang-undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada tahun 2013, sebagai salah satu strategi pemerintah dalam melindungi petani dan peternak melalui Program Asuransi Pertanian. Program Asuransi Pertanian bertujuan memitigasi risiko usaha tani seperti serangan hama dan penyakit, kekeringan, banjir, kehilangan ternak, dan kematian ternak akibat penyakit, serta kegagalan panen lainnya yang berakibat pada kerugian petani dan peternak.
Produk Asuransi ini memiliki nilai pertanggungan sebesar Rp. 6.000.000,- untuk Usaha Tani Padi (AUTP) dan Rp. 10.000.000,- untuk Usaha ternak Sapi/Kerbau (AUTS/K). Program AUTP dan AUTS/K ini mendapatkan subsidi 80 % premi oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian RI), sehingga petani hanya membayar secara swadaya sebesar 20 % yaitu Rp. 36.000,- dari total premi Rp. 180.000,- untuk usaha padi dan Rp. 200.000,- untuk ternak sapi/kerbau.
Perjalanan produk AUTP dan AUTS/K yang sudah berjalan lebih kurang 6 tahun, ternyata menimbulkan banyak polemik. Sebut saja seperti pendataan kelompok tani dan Kelompok ternak yang tidak sesuai dengan objek asuransi lahan padi dan ternak sapi/kerbau, tingkat pengetahuan petani/peternak yang rendah, pengajuan klaim yang lama, dan perilaku moral hazard dalam pelaksanaan dilapangan, serta beberapa kendala lainnya.
Untuk Aceh sendiri, selain permasalahan tersebut terdapat permasalahan lainnya yang berkaitan dengan aqidah umat muslim yaitu adanya keraguan para petani soal halal-haram pelakasanaan asuransi pertanian secara konvensional. Polemik-polemik ini menjadi landasan bagi Provinsi Aceh untuk menawarkan pengembangan Produk Asuransi Pertanian kedalam sistem Syariah.
Ditengah Pandemik COVID-19, agenda-agenda diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak, baik di tingkat pusat maupun daerah harus ditempuh secara daring.
Ketua Tim peneliti Riset Kebijakan Asuransi Pertanian Syariah, Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc, dalam pengantar diskusi mengutarakan, “Saat ini kita butuh road map yang terukur tentang bagaimana mewujudkan Asuransi Pertanian Syariah di Aceh, maka perlu dibangun sinergisitas dengan para stakeholder dari pemerintah pusat, termasuk DSN MUI dan Asosiasi pelaku usaha Asuransi Syariah”. ujarnya.
Focus Group Discussion (FGD) secara daring ini mempertemukan para Praktisi Asuransi Syariah termasuk yang tergabung dalam Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), Tim Peneliti Asuransi Pertanian Syariah, Bappeda Aceh, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, serta Dinas Peternakan Aceh. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Wakil Dekan II Fakultas Pertanian Unsyiah Dr. Ir. Sofyan, M.Agric.Sc.
Harapan dalam dunia asuransi pertanian syariah, Dr. Rahmat Fadhil, M.Sc "Diharapkan dapat terwujud pada tahun 2021, dan tentunya Aceh menjadi role model pelaksanaan Asuransi Pertanian Syariah secara nasional," inginnya.
Pandangan lain datang dari Pakar Ekonomi Syariah yang juga Tim Peneliti Asuransi Pertanian Syariah, Dr. Muhammad Yasir Yusuf, M.A, menjelaskan dalam materi FGD bahwa sudah saatnya kita melangkah pada sistem Asuransi Pertanian Syariah yang secara nilai-nilai melekat pada jati diti petani Aceh, yaitu tolong menolong dan saling berbagi risiko yang lebih berkeadilan.
"Untuk diketahui, Riset Asuransi Pertanian Syariah ini merupakan kolaborasi para pakar dari Universitas Syiah Kuala dan UIN Ar-Raniry bersama dengan mitra riset Bappeda Aceh, Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, dan Dinas Peternakan Aceh. Riset ini merupakan hibah kompetitif tata kelola/kebijakan selama 2 tahun dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan RI melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Syiah Kuala," rincinya.
Dikuatkan dari pemikiran Ustadz Rikza Maulan, Lc., M.Ag. Dirinya Pakar Asuransi Syariah yang juga anggota DSN MUI bidang Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Syariah. Dalam materinya Ustadz Rikza menyampaikan perihal gagasan 3 model skema Asuransi Pertanian Syariah yang dapat dijalankan; yaitu skema subsisi pemerintah pusat/daerah, skema mandiri, dan skema kemitraan dengan donatur perusahaan.
Berlangsungnya kegiatan FGD juga menghadirkan praktisi Asuransi Syariah Erwin Noekman, B.Eng, MBA. “Peluang pelaksanaan Asuransi Pertanian Syariah ini besar karena Aceh sudah memiliki landasan Qanun Lembaga Keuangan Syariah, maka asosiasi siap mendukung dalam rangka koordinasi dan sinergisitas”, pungkas Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) itu," ujarnya.
Acara FGD di tutup dengan menghasilkan berbagai masukan dari para pihak dalam pengembangan model asuransi pertanian di Aceh, sehingga ini akan menjadi informasi penting bagi peneliti dalam menyusun draft model asuransi pertanian syariah di Aceh. Draft ini tentunya diharapkan akan menjadi modal utama dalam penyusunan Pergub dan Qanun mengenai Perlindungan Pertanian yang akan dibahas oleh DPRA Aceh pada tahun ini [AHN].