Minggu, 20 April 2025
Beranda / Berita / Aceh / Baiquni Hasbi Ingatkan Penting Akurasi Antara Fiksi dan Fakta Dalam Pembuatan Film Sejarah

Baiquni Hasbi Ingatkan Penting Akurasi Antara Fiksi dan Fakta Dalam Pembuatan Film Sejarah

Kamis, 17 April 2025 08:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe. Foto: doc Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Lhokseumawe - Rencana Indonesia memproduksi film tentang hubungan Aceh - Turki memantik tanggapan kritis dari akademisi. Baiquni Hasbi, M.A., Ph.D., dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe, mengingatkan pentingnya membedakan antara fiksi dan fakta sejarah, merujuk pada drama Turki Payitaht: Abdülhamit yang kerap dianggap sebagai referensi historis.

“Ketika mendengar Indonesia akan membuat film tentang hubungan Aceh-Turki, saya langsung teringat sinetron Turki yang populer, Payitaht: Abdülhamit. Serial ini banyak dianggap sebagai gambaran sejarah, padahal ada adegan fiktif yang justru bertentangan dengan dokumen resmi,” ujar Baiquni kepada Dialeksis saat diwawancara, Kamis (17/04/2025).

Baiquni menyoroti episode 15 serial tersebut, di mana Sultan Abdülhamit II digambarkan mengutuk kekuasaan Belanda di Aceh. Adegan ini viral di media sosial, terutama di kalangan masyarakat Aceh, karena dianggap mencerminkan solidaritas Pan-Islamisme Kesultanan Usmani terhadap perjuangan Aceh. Namun, ia menegaskan bahwa adegan tersebut murni fiksi.

“Sorry to ruin your favorite drama! Tapi faktanya, Sultan Abdülhamit justru bersikap diplomatis terhadap Belanda,” tegasnya. Pada 1899, Belanda memprotes aksi Pan-Islamis Kiamil Bey, perwakilan Usmani di Batavia. Sultan merespons dengan menarik Kiamil pulang dan menyatakan bahwa masyarakat Indonesia ‘hidup bahagia di bawah kekuasaan Ratu Wilhelmina’. Bahkan, ia mengirimkan kuda beserta pelana khusus sebagai hadiah untuk Belanda. Ini bertolak belakang dengan narasi di drama itu.”

Baiquni menjelaskan bahwa Pan-Islamisme yang diusung Abdülhamit II lebih bersifat strategis ketimbang ideologis. “Pan - Islamisme era itu adalah alat diplomasi untuk menjaga citra dan keutuhan Kesultanan Usmani di tengah melemahnya hubungan dengan Eropa, khususnya setelah Inggris meminggirkan peran Usmani,” papar ahli sejarah Turky ini. 

Menurutnya, kebijakan Sultan lebih fokus pada mempertahankan legitimasi internasional ketimbang mendukung perlawanan anti-kolonial. “Drama ini menggambarkan Abdülhamit sebagai tokoh revolusioner, padahal dalam praktiknya, hubungan Usmani-Belanda justru tidak konfrontatif,” tambah doktor lulusan universitas terkemuka Timur Tengah tersebut.

Baiquni mengakui dilema yang dihadapi produser film atau drama sejarah. “Di satu sisi, tujuan utama adalah hiburan. Namun, ketika tokoh dan peristiwa nyata dijadikan basis cerita, penonton rentan menganggap fiksi sebagai fakta,” katanya.

Ia mencontohkan bagaimana cuplikan Payitaht: Abdülhamit beredar luas di YouTube dengan terjemahan Bahasa Indonesia, seolah menjadi bukti sejarah.

“Ini berbahaya karena membentuk memori kolektif yang keliru. Tantangan terbesar sutradara adalah memilih antara memenuhi ekspektasi penonton atau setia pada data sejarah,” ujarnya.

Menanggapi rencana film Aceh - Turki, Baiquni berharap para pembuat film melakukan riset mendalam. “Kisah hubungan Aceh-Usmani memang menarik, tetapi harus dikemas dengan pertimbangan akademis. Jangan sampai kita mengulangi kekeliruan drama Turki yang mengorbankan akurasi demi narasi heroik,” pesannya.

Ia menekankan bahwa film sejarah bukan sekadar hiburan, melainkan juga medium edukasi.

“Masyarakat berhak tahu mana yang fiksi dan mana fakta. Jika tidak, kita hanya melanggengkan mitos,” tutupnya.

Pesan bijak Baiquni Hasbi: Narasi populer mungkin menggoda, tetapi sejarah memanggil untuk diceritakan dengan jujur.

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
dinsos
inspektorat
koperasi
disbudpar