Banda Aceh Butuh Pemimpin Peradaban Bukan Pemimpin Kontraktor
Font: Ukuran: - +
Budayawan Aceh, Herman RN M.Pd
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kota Banda Aceh hari ini membutuhkan pemimpin peradaban bukan pemimpin yang berbau kontraktor.
Penegasan ini disampaikan salah satu Budayawan Aceh, Herman RN M.Pd melalui siaran pers kepada media, Selasa (25/09/2018)
Kalau kita melihat, sentral kota di provinsi manapun bahkan diluar negeri, selalu memiliki taman kota. Konsep taman kota itu adalah penghijauan. Biar masyarakat kota yang seharian bekerja di kantor, sekolah dan berbagai tempat lainnya melintasi kota ada tempat yang sejuk dan berbeda nuansanya dengan tempat-tempat yang lain.
"Di kota-kota lain bahkan sampai ke luar negeri kita dapatkan tempat itu, tapi di Banda Aceh justeru tidak ada. Malah hari ini taman sari yang seharusnya menjadi tempat menyejukkan itu diubah fungsinya menjadi gundukan-gundukan beton. Alih-alih bernama Bustanus Saladdin, sama sekali itu bukan konsep bustanus saladdin," jelas Herman.
Di tambah lagi, kata Herman RN, sekarang mau dibangun panggung permanen yang luasnya seperti panggung taman budaya. "Untuk apa? Nanti ujung-ujungnya biaya perawatan panggung, jika tidak dirawat nanti besi-besi itu berkarat dan menjadi besi tua, jika dirawat nanti keluar dana lagi,"tambahnya.
Seharusnya, lanjut Herman, taman sari biarkan menjadi taman terbuka yang hijau. Semua masyarakat boleh bermain disana, bukan hanya sekelompok orang saja. Semua masyarakat dengan berbagai hobbi dan latar belakang bisa melepaskan penat disana.
"Maka konsep kota Banda Aceh sekarang ini terlihat seperti konsep kontraktor, ada bangunan fisik yang penting jadi pekerjaan," ucapnya.
Masih kata Herman, lihat Ulee Lheu hari ini sudah di konsep bagaimana membangun tempat berzikir yang luar biasa hebatnya di Ulee Lheu. "Pertanyaannya, untuk apa? Mau memanggil tuhan ke Ulee Lheu? Allah itu bukan di Ulee Lheu, Allah ada dimana-mana. Siapa yang mau berzikir di pinggir laut itu?," ujar Herman mengaku geram dengan kebijakan aneh ala Aminullah.
Menurut Herman, ketika pembangunan konsepnya adalah fisik, tujuannya bagaimana mengundang kontraktor, pembangunan itu akan menjadi sia-sia. "Yang dibutuhkan Banda Aceh saat ini pembangunan yang berkarakter, pembangunan yang berperadaban,"tegasnya.
Konsep ini, kata Herman tidak diperoleh dari pembisik-pembisik yang hanya menginginkan fee. Tetapi, bisa diperoleh dengan mengundang para ahli, buat seminar, FGD. "Apa yang dibutuhkan Banda Aceh hari ini maka itu yang seharusnya dilakukan Walikota,"imbuhnya.
Apalagi, kata Herman, persoalan air bersih saja belum tau selesainya kapan, sudah dibuat masalah lain lagi."Kita lihat saja awal 2019 nanti apakah persoalan air bersih ini dapat diselesaikan, jika tidak minta saja Walikota turun dari jabatannya. Artinya, dia tidak mampu menyelesaikan program perioritasnya sebagaimana janjinya pada masa kampanye dan janjinya waktu pidato pertama pelantikan, bahwa prioritas utama mereka adalah persoalan air bersih,"tandasnya.
Menurut Herman, seorang pemimpin itu adalah pemimpin yang mendengarkan aspirasi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya mendengarkan apa yang disampaikan pembisik dan timses tententu semata. "Banda Aceh butuh pemimpin peradaban, bukan pemimpin kontraktor,"pungkasnya. (d)