Beda Tafsir Pilkada Aceh dalam UUPA, Wakil Ketua DPR Aceh Sampaikan Ini
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Wakil Ketua DPRA, Safaruddin. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Surat balasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI kepada Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh masih meninggalkan sejumlah perdebatan mengenai penafsiran pihak pusat dengan pihak lokal terhadap Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Lantaran, di surat KPU itu disebutkan bahwa UUPA hanya terdapat pengaturan periode masa jabatan gubernur selama lima tahun dan tidak ada aturan tentang penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2022 mendatang.
Menanggapi itu, Wakil Ketua DPR Aceh dari Fraksi Gerindra, Safaruddin mengatakan, penafsiran penyelenggaraan Pilkada Aceh dalam pasal 65 UUPA itu, pihak KPU punya perspektif yang berbeda. Akan tetapi, sambung dia, pihak DPR Aceh, Pemerintah Aceh, para stakeholder dan elemen masyarakat sepakat dan satu pandangan untuk mengawal kekhususan dan keistimewaan yang diberikan dalam UUPA.
“Tergantung, kan KPU yang menilai, tapi kita kan punya perspektif sendiri, kita masih berpegang bahwa regulasi yang kita pegang itu ada di UUPA, kemarin pemerintah sudah surati Kemendagri untuk meminta kepastian kapan penyelenggaraan Pilkada di Aceh, tahun 2022 atau 2024. Mendagri sudah jawab surat itu, kata Mendagri silakan berkoordinasi dengan Komisi II DPR RI dan KPU,” kata Safaruddin saat mengunjungi redaksi Dialeksis dan studio Jalan Ary, Banda Aceh, Kamis (18/2/2021).
Ia mengatakan, Komisi I DPR Aceh sudah bekerja keras dan keliling Jakarta untuk berkoordinasi dengan Komisi II DPR RI.
"Hasil koordinasi itu sudah dapat jawaban, Aceh boleh-boleh saja di 2022, tapi kembali lagi kepastiannya ini kan lagi menunggu dengan sikap pemerintah pusat," kata dia.
Adapun terkait dengan perbedaan penafsiran pasal UUPA itu, Safaruddin meminta untuk tidak lagi memperdebatkan soal regulasi, karena masing-masing orang punya perspektif berbeda-beda.
"Ahli hukum dan ahli tata negara pun dalam melihat negara itu bisa berbeda-beda. Apalagi konon kita orang politik yang menafsirkan sesuai dengan kepentingan kita masing-masing," jelasnya.
DPR Aceh, kata dia, sudah melakukan konsultasi dengan para akademisi ahli hukum yang ada di Aceh di beberapa universitas. Ia mengatakan, DPR Aceh meminta pandangan kepada para ahli tata negara dan para ahli hukum.
Safaruddin melanjutkan, dalam menafsirkan satu UU dengan pasal per pasalnya, orang satu sama lainnya bisa berbeda-beda pandangan. Oleh demikian, sambung Safaruddin, DPR Aceh sedang berusaha melakukan pendekatan politik secara kebijakan hukum, karena pendekatan itu juga bisa bermuara pada kebijakan politik.
Karena demikian, Safaruddin mengatakan, UUPA perlu dipertahankan karena UUPA juga mengatur persoalan Pilkada Aceh tahun 2022. Kemudian juga pada turunan dari UUPA, yakni Peraturan Daerah (Perda)/ Qanun Aceh.
“Sama halnya seperti fraksi Gerindra, kenapa fraksi di DPR RI atau DPP itu tetap berpegang pada UU Pilkada (UU 10/2016) bahwa Pilkada pada 2024. Namun, kenapa Partai Gerindra di Aceh itu bertolak belakang dengan keinginan Gerindra pusat. Karena Gerindra Aceh berpandangan bahwa ada UU khusus yang harus dipertahankan oleh orang Aceh, dan Gerindra tidak boleh berbeda dengan orang Aceh,” tutup Safaruddin.