DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh menggelar diskusi publik bertajuk Ngopi Aceh Damai di Banda Aceh, Sabtu (19/7/2025).
Kegiatan ini mengusung tema “Fenomena dan Perilaku Komunikasi Pengguna Media Sosial”, dengan menghadirkan sejumlah narasumber dari kalangan akademisi, jurnalis, dan pengamat media.
Diskusi ini menjadi ruang refleksi sekaligus seruan moral di tengah riuhnya jagat media sosial yang kerap dipenuhi informasi menyesatkan, ujaran kebencian, dan polarisasi.
Tiga narasumber yang tampil Wiratmadinata, Jauhari Ilyas, dan Aryos Nivada menyampaikan pandangan kritis dan solutif mengenai peran media dalam membentuk budaya damai di Aceh dan Indonesia secara umum. Moderator acara, Adi Warsidi, memandu jalannya diskusi dengan penuh dinamika.
Mengawali sesi diskusi, Wiratmadinata menyampaikan materi berjudul “Peran Media Dalam Menciptakan Kondisi Damai”. Ia menyoroti transformasi fungsi media dari masa ke masa.
“Dulu media menjadi alat perjuangan, kini lebih banyak sebagai alat bisnis bahkan alat kepentingan kelompok,” tegasnya.
Menurutnya, ruang digital hari ini dipenuhi oleh echo chamber atau ruang gema, tempat orang hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Hal ini membuat polarisasi makin tajam.
“Kita harus membangun media yang menjadi penengah, bukan pemicu konflik. Media yang cinta damai akan menarik audiens yang juga cinta damai,” kata Wiratmadinata.
Ia juga menekankan perlunya mindset baru dalam pengelolaan media. Bukan semata-mata soal mengejar trafik dan uang, melainkan membentuk pasar informasi yang sehat dan damai.
Narasumber kedua, Jauhari Ilyas, menekankan pentingnya membangun komunikasi positif dalam bermedia sosial.
Ia menyoroti bagaimana narasi di media sosial bisa menguatkan atau justru menghancurkan kepercayaan sosial.
Menurut Jauhari, komunikasi yang sehat menuntut kesadaran pengguna akan dampak dari setiap informasi yang dibagikan.
“Kita perlu membiasakan diri menyaring informasi, bukan hanya sharing. Komunikasi positif bukan berarti selalu setuju, tetapi mampu menyampaikan kritik dengan cara yang membangun,” ungkapnya.
Ia juga mengajak generasi muda untuk menjadi agen perubahan dalam membangun literasi digital yang kuat dan beretika.
Sesi ketiga disampaikan oleh Aryos Nivada, pengamat media sosial dan pemilik media Dialeksis.com serta Nukilan.id. Dengan tajuk materi “Langkah Cerdas Lawan Hoaks”, Aryos menyoroti betapa rentannya masyarakat Indonesia terhadap informasi palsu, meskipun sebagian besar penggunanya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.
“Kecerdasan seseorang tidak selalu linier dengan kemampuannya menyaring informasi. Banyak orang cerdas yang tetap menyebarkan hoaks karena tidak punya habit verifikasi,” jelas Aryos.
Ia menjelaskan bahwa penyebaran hoaks sering kali dilandasi oleh emosi, kebencian, dan ketidaksabaran dalam mengolah informasi. Budaya nguping alias setengah tahu yang marak di masyarakat, menurutnya, menjadi pintu masuk bagi manipulasi informasi.
Aryos menawarkan beberapa langkah cerdas dalam melawan hoaks yaitu verifikasi sumber informasi pastikan kredibilitas media atau akun penyebarnya. Basakan membaca dan menulis, budaya literasi dapat menjadi tameng dari kebodohan digital.
Selain itu, kata dia, jangan langsung membagikan informasi yang belum pasti jadilah bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
“Kalau tidak punya kualitas pemahaman informasi, maka akan mudah dikendalikan orang lain,” tutup Aryos. [nh]