Budayawan Ceritakan Keistimewaan Kampung Pande Banda Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Budayawan dan Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid. [IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kampung Pande dan sekitarnya adalah kawasan elit dan mulia di zaman lampau. Tempat para sultan, para pangeran dan keluarga kerajaan dilahirkan dan dibesarkan. Tempat para ulama mengajarkan ilmu-ilmu mereka, dan para sufi berta'abbud. Tempat itu adalah inti Aceh, cikal bakal dari kebesaran Aceh.
Cerita itu disampaikan oleh Budayawan Aceh Tarmizi A Hamid kepada Dialeksis.com, Senin (27/9/2021).
"Untuk itu, marwah tempat itu harus diangkat kembali sebagai keberlanjutan dari marwahnya di masa lampau. Karena itu, cukuplah tantangan alam yang mesti dihadapi, jangan lagi tantangan manusia yang tidak mengerti menempatkan sesuatu pada tempatnya dan salah dalam mengukur sesuatu yg bernilai dan berharga bagi Aceh dan rakyatnya. Kepentingan identitas dan sejarah di masa depan lebih penting daripada kepentingan sebuah tempat untuk buang sampah dan limbah," jelasnya.
Pernyatan itu menjawab persoalan Pemerintah Kota Banda Aceh yang ingin melanjutkan proyek instalasi pembuangan air limbah (IPAL) di Gampong Pande, Kota Banda Aceh. Namun, hal itu terpaksa dihentikan sementara karena terjadi protes dari beberapa kalangan masyarakat.
Pembangunan itu dihentikan, setelah dilakukan pengerukan baru pada kolam ke lima ditemukan enam pusara makam kuno tersebut. Dan terjadi penolakan pembangunan lanjutan kegiatan dari beberapa kalangan.
"Kawasan ini sama sekali tidak layak untuk menjadi tempat buangan sampah dan limbah apalagi lumpur tinja. Itu sama sekali tidak logis dan tidak masuk ke cita rasa. Saya rasa seluruh masyarakat Aceh akan sependapat dengan saya dalam hal ini," tegas Tarmizi A.Hamid.
Sebab, lanjutnya penempatan lokasi buang sampah dan lain-lain di pinggir Krueng Aceh yang melegenda dan juga di bekas kawasan paling penting dalam sejarah Aceh, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima baik dari segi adat dan kearifan orang Aceh, atau dari segi cita rasa keindahan.
Kolektor Naskah Kuno Aceh ini mengatakan, penghentian IPAl, bahkan relokasi TPA dan IPLT, ini sudah seharusnya dilakukan oleh Pemerintah, dan ini sudah merupakan sikap yang sangat bijak.
Menurutnya, kawasan ini digunakan untuk kawasan peninggalan sejarah, yang didukung dengan berbagai sarana edukasi masyarakat dan generasi muda, seperti museum kemaritiman, perpustakaan bahkan pengajian-pengajian keagamaan, dan terutama lagi sebagai pusat kajian sejarah Aceh.
Beberapa waktu lalu, Ombudsman Aceh melaksanakan rapat tentang Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) Banda Aceh. Peserta rapat yang berasal dari berbagai kalangan pro dan kontra terhadap IPAL tersebut diperkirakan sekitar 30 orang.
Hadir dalam rapat tersebut diantara Asisten II Pemko Banda Aceh mewakili Wali Kota, Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, BPN Kota Banda Aceh LSM Mapesa, LSM Darud Dunia, dan para aktifis lainnya.
Pada sesi penutupan rapat tersebut, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyampaikan kesimpulan kepada peserta. Yang pertama kata Taqwaddin, perlu segera dilakukannya heritage impact assesment (analisis dampak terhadap warisan budaya) di lokasi pembangunan IPAL tersebut. Kedua, perlu adanya edukasi dan sosialisasi terkait IPAL kepada masyarakat.
Selanjutnya, perlu adanya tim terpadu. Dan yang terakhir, sebut Taqwaddin, perlu adanya manajemen media oleh Pemko terkait IPAL tersebut.
"Kami berharap, hasil dari kesimpulan rapat ini segera ditindaklanjuti oleh Pemko. Nanti Ombudsman akan merumuskan ini ke dalam laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) yang merupakan hasil dari beebagai kegiatan investigasi atas prakarsa sendiri oleh Ombudsman" imbuh Taqwaddin.
Sebelumnya, Komisi I DPR Aceh sepakat meminta kepada Pemerintah kota Banda Aceh untuk merelokasikan proyek Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) yang berlokasi di Gampong Pande, Banda Aceh. Hal ini dilakukan guna menjaga cagar budaya yang ditemukan ditempat tersebut.