DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sekelompok mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) melahirkan sebuah inovasi yang mereka sebut Circular Processing Edible Coating atau disingkat CIPECO: lapisan pelindung pangan berbahan alami untuk memperpanjang umur simpan produk-produk protein seperti daging, ayam, dan ikan.
CIPECO tak sekadar teknologi pengawet pangan. Ia adalah upaya nyata anak muda Aceh mengubah limbah laut menjadi produk bernilai tambah, menghadirkan solusi ketahanan pangan sekaligus menjawab tantangan lingkungan.
“Kami ingin menghadirkan inovasi yang tidak hanya bermanfaat bagi industri pangan, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar M. Abdul Hamid, ketua tim CIPECO kepada media dialeksis.com, Senin, 29 September 2025.
Bahan utama CIPECO berasal dari sesuatu yang kerap terbuang: cangkang kerang hijau. Di pesisir Aceh, kerang hijau melimpah dan limbah cangkangnya menumpuk, sering kali hanya menjadi sampah. Dari cangkang itulah tim CIPECO mengekstrak kitosan, zat alami yang terbukti mampu memperlambat laju pembusukan.
Agar lebih efektif, kitosan itu kemudian dipadukan dengan minyak atsiri biji pala, tanaman khas Nusantara yang dikenal memiliki sifat antibakteri alami. Hasilnya, lahirlah lapisan pelindung pangan yang bisa memperpanjang kesegaran produk protein beberapa hari lebih lama dibanding metode konvensional.
“Selain menjaga kesegaran, edible coating ini juga memastikan kandungan gizi tetap optimal tanpa perlu bahan pengawet sintetis,” tambah Hamid.
CIPECO bukan hanya kerja sains. Keberhasilannya lahir dari kolaborasi lintas fakultas. Hamid bersama dua rekannya, M. Zacky Barsya dan M. Abidzar, fokus di sisi teknologi pangan. Sementara Dara Apriani dan Azid Ramadhan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis menggarap strategi manajemen dan pemasaran.
“Tahap pemasaran adalah langkah penting untuk memastikan riset kami benar-benar bisa dimanfaatkan masyarakat. CIPECO hadir sebagai jawaban atas kebutuhan konsumen akan pengawet alami yang aman dan efektif,” kata Dara Apriani.
Pendekatan multidisiplin ini membuat CIPECO memiliki dua kaki yang kuat: pijakan ilmiah sekaligus arah bisnis yang jelas.
Setelah berhasil lolos pendanaan PKM 2025 dari ratusan proposal di USK, hanya 13 yang diterima, termasuk CIPECO tim ini mulai melangkah lebih jauh. Mereka merancang produk cair siap pakai dengan harga Rp65.000 per 500 ml.
Produk ini didesain praktis bisa digunakan ibu rumah tangga, pelaku UMKM kuliner, hingga industri pengolahan hasil laut.
Tim CIPECO bahkan sudah turun ke pasar tradisional di Banda Aceh, mengajarkan pedagang cara sederhana mengoleskan cairan edible coating ini ke daging atau ikan agar tetap segar lebih lama.
“Kami ingin inovasi ini tidak berhenti di jurnal, tapi benar-benar hadir di meja makan masyarakat,” ujar Hamid.
CIPECO juga membawa misi lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah cangkang kerang hijau, inovasi ini mendorong praktik ekonomi sirkular model pembangunan berkelanjutan yang memaksimalkan penggunaan sumber daya dan meminimalkan limbah.
Dosen pembimbing tim, Asmawati M. Sail, menegaskan capaian ini adalah bukti bahwa riset mahasiswa bisa melahirkan produk yang relevan dengan kebutuhan industri sekaligus mendukung agenda besar pembangunan berkelanjutan.
“CIPECO sejalan dengan SDGs, terutama poin Zero Hunger, Responsible Consumption and Production, serta Decent Work and Economic Growth,” ujarnya.
Bagi masyarakat pesisir Aceh, inovasi ini memiliki makna lebih dari sekadar produk sains. Limbah kerang yang selama ini menumpuk bisa disulap menjadi sumber penghasilan baru. Nelayan dan pelaku industri kecil bisa menjual hasil samping mereka dengan nilai lebih tinggi.
Lebih jauh, CIPECO memberi harapan bahwa ketahanan pangan bisa dijaga dengan cara yang ramah lingkungan. Bahwa anak muda Aceh mampu melahirkan solusi nyata untuk masalah global.
“Kami percaya, inovasi harus berangkat dari masalah di sekitar kita. Aceh kaya dengan sumber daya laut, tapi juga menghadapi masalah limbah. CIPECO adalah jawaban kecil dari kami untuk masalah itu,” tutup Hamid.