DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Koordinator Monitoring dan Evaluasi Yayasan Geutanyoe, Iskandar Dewantara mengatakan laju deforestasi yang kian meningkat dari tahun ke tahun, ditambah dengan konflik antara manusia dan satwa liar yang semakin sering terjadi, dinilai menjadi ancaman besar bagi keberlanjutan hutan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Ia mengatakan persoalan ini tidak bisa dianggap remeh. Menurutnya, deforestasi yang tidak terkendali bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga memicu konflik ruang hidup antara manusia dan satwa.
“Kalau melihat kondisi terkini, laju penurunan hutan di Aceh semakin tinggi. Ditambah lagi konflik manusia dengan satwa juga semakin meningkat. Ini menjadi problem besar bagi penanganan konservasi di Aceh dan juga penanganan keberlanjutan hutan kita,” kata Iskandar kepada media dialeksis.com, 24 Agustus 2025.
Iskandar menilai, masalah utama terletak pada tata kelola ruang yang tidak jelas. Hingga kini, regulasi mengenai mana kawasan yang boleh dan tidak boleh dimanfaatkan masih abu-abu. Akibatnya, baik masyarakat maupun aparat sering terjebak dalam kebingungan, sementara satwa kehilangan habitat alaminya.
“Kita tidak bisa menyalahkan hewan ketika mereka merusak lahan pertanian. Yang harus kita sadari adalah kita yang merusak ruang mereka. Pola ruang ini harus jelas, konkret, dan ditegakkan secara konsisten,” ujarnya.
Lebih jauh, Iskandar menyoroti kelemahan mendasar dalam sistem pengelolaan lingkungan di Aceh. Menurutnya, meskipun beberapa regulasi telah dibuat, infrastruktur dan perangkat pendukung penegakan aturan masih sangat lemah.
Ia mencontohkan keberadaan polisi hutan dan struktur adat seperti panglima hutan yang seharusnya dapat menjadi garda terdepan dalam perlindungan lingkungan. Namun, koordinasi dan sinkronisasi antara lembaga formal, adat, dan aparat penegak hukum belum berjalan efektif.
“Regulasinya bagus, tapi perangkat pelaksananya tidak disiapkan. Ada polisi hutan, ada panglima hutan, tapi sinkronisasi tidak terlihat. Penanganannya jadi parsial. Padahal, ini harus komprehensif,” jelasnya.
Iskandar juga menekankan pentingnya ketegasan aparat penegak hukum dalam menindak kasus-kasus perusakan lingkungan. Ia berharap aparat tidak hanya bergerak ketika ada laporan resmi, tetapi proaktif mencegah kerusakan sejak dini.
“Aparat harus segera bertindak tanpa menunggu aduan. Koordinasi antara pemerintah dan aparat penegak hukum itu kunci. Jangan sampai regulasi sudah baik, tapi penegakan hukumnya lemah,” katanya.
Selain kepada aparat, Yayasan Geutanyoe juga menaruh harapan besar pada pemerintah daerah agar lebih serius dalam menyosialisasikan tata ruang kepada masyarakat.
Iskandar mengingatkan, jangan sampai masyarakat baru diberitahu setelah mereka terlanjur mengelola kawasan yang ternyata bukan untuk pemukiman atau pertanian.
“Untuk pemerintah, penting sekali mensosialisasikan pola ruang sejak awal. Jangan ketika masyarakat sudah melakukan sesuatu, baru dibilang ruangnya bukan untuk itu,” ujarnya.
Tak hanya itu, kesadaran masyarakat sendiri dinilai menjadi faktor penentu. Mereka diharapkan dapat memahami fungsi peruntukan kawasan dan mematuhinya demi keberlanjutan lingkungan.
Pada akhirnya, kata Iskandar, persoalan lingkungan di Aceh membutuhkan perubahan pola pikir dan pola tindak semua pihak.
Tidak cukup hanya aktivis atau lembaga masyarakat sipil yang bersuara, tetapi pemerintah, aparat, hingga masyarakat harus memiliki komitmen bersama.
“Yang paling penting adalah kerelaan hati dan kemauan dari semua pihak. Kalau pemerintah, aparat, dan masyarakat punya kesadaran yang sama, kita bisa mencegah kerusakan lingkungan dan menjaga keberlanjutan hutan Aceh,” tutupnya.