DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Ar-Raniry Banda Aceh menolak pendirian batalyon TNI baru di Aceh.
Ketua DEMA UIN Ar-Raniry, Teuku Raja Aulia Habibie, mengatakan bahwa langkah pemerintah pusat tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat perdamaian yang telah diperjuangkan rakyat Aceh selama puluhan tahun.
“Kami menolak pendirian batalyon baru di Aceh karena hal itu jelas mencederai MoU Helsinki. Ini bukan soal pertahanan semata, ini soal sejarah, trauma, dan harga diri masyarakat Aceh,” tegas Teuku Raja Aulia kepada Dialeksis.com, Rabu, (23/7/2025), di Banda Aceh.
Ia mengatakan pembangunan batalyon baru dinilai melanggar beberapa prinsip dan peraturan yang selama ini menjadi fondasi perdamaian di Aceh. Salah satunya adalah pelanggaran terhadap Pasal 4.7 MoU Helsinki 2005, yang secara tegas membatasi jumlah pasukan TNI di Aceh pascakonflik.
Penambahan batalyon dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap komitmen nasional dan internasional yang telah disepakati.
Selain itu, pembangunan ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengharuskan pelibatan Pemerintah Aceh dalam kebijakan strategis di bidang pertahanan dan keamanan.
Fakta bahwa proyek batalyon dilakukan tanpa konsultasi maupun persetujuan dari Pemerintah Aceh memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap prinsip desentralisasi dan otonomi khusus Aceh.
DEMA UIN Ar-Raniry juga menyoroti aspek transparansi dan akuntabilitas dalam proyek ini. Tidak adanya informasi terbuka terkait kebutuhan militer, dokumen pengadaan, maupun kajian sosial membuat proyek ini patut dicurigai.
“Anggaran sebesar Rp 238,2 miliar untuk pembangunan markas militer adalah angka yang sangat besar, sementara Aceh masih kekurangan rumah sakit layak, fasilitas pendidikan memadai, dan lapangan kerja bagi pemuda, ini boros, tidak efisien, dan tidak punya urgensi nyata," ujarnya.
Lebih lanjut, DEMA meminta audit publik atas seluruh proses pengadaan dan penggunaan anggaran tersebut, guna memastikan tidak adanya pelanggaran hukum maupun praktik korupsi terselubung.
Selain aspek hukum dan anggaran, DEMA juga menyoroti sisi kemanusiaan. Menurut mereka, kehadiran markas militer berskala besar berpotensi membangkitkan trauma kolektif masyarakat Aceh yang masih dalam proses penyembuhan dari konflik bersenjata puluhan tahun lalu.
“Ini bukan sekadar bangunan fisik, tapi simbol kekuasaan yang pernah menyakiti banyak rakyat Aceh. Kita belum benar-benar sembuh, jangan paksa rakyat untuk mengulang luka,” kata Aulia.
Mereka juga khawatir pembangunan batalyon akan memperburuk konflik agraria yang kini sedang marak di beberapa wilayah Aceh. Lahan-lahan masyarakat bisa saja digusur tanpa konsultasi, yang pada akhirnya memicu konflik horizontal baru.
Ia juga menyampaikan empat poin tuntutan utama yang menjadi perhatian DEMA Uin Ar-raniry Banda Aceh yaitu hentikan seluruh proses pembangunan batalyon baru di Aceh, baik yang sudah berjalan maupun yang sedang direncanakan.
Yang kedua, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pertahanan di Aceh, dengan melibatkan Pemerintah Aceh, masyarakat sipil, dan korban konflik.
Yang ketiga, lakukan audit publik terhadap anggaran proyek militer di Aceh, agar jelas ke mana dan untuk siapa uang rakyat digunakan.
Yang terakhir, hentikan militerisasi ruang sipil di Aceh, dan tegakkan prinsip-prinsip damai sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki dan UUD 1945.
“Yang dibutuhkan Aceh saat ini adalah pemulihan hak-hak korban konflik, pendidikan yang layak, dan pembangunan ekonomi. Bukan tambahan pasukan. Kami berdiri untuk perdamaian, dan menolak segala bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Aceh,” tutup Aulia Habibie. [nh]