Deteksi Potensi Migas, Tiga Perusahaan Internasional Ekplorasi Perairan Aceh
Font: Ukuran: - +
Plt BPMA Aceh Azhari Idris saat menyerahkan paket ramadhan kepada anak yatim pada acara buka puasa bersama keluarga besar BPMA, Selasa, (28/5/2019) foto: Dialeksis.com/Baim
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tiga perusahaan migas internasional, yaitu Repsol, Premier Oil, dan Mubadala Petroleum akan berinvestasi di bidang hulu migas di lepas pantai Bireuen, Pidie Jaya, dan Pidie, tepatnya di wilayah blok Andaman I, II, dan III di perairan Selat Malaka.
Dari tiga perusahaan tersebut, Repsol masuk dalam pengelolaan Pemerintah Aceh dimana jaraknya tidak kurang dari 12 mil laut, dan hal itu sesuai aturan PP No 23 Tahun 2015 tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh.
Hal tersebut disampaikan oleh Plt Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) Azhari Idris, Senin, (15/7/2019).
"Dua perusahaan lagi, yakni Premier Oil, dan Mubadala Petroleum sudah dekat dengan perairan internasional (perbatasan Thailand), namun kalau ditarik masih dalam perairan Aceh. Itu sudah jauh sekali. Meskipun itu kewenangan pusat, tapi mereka selalu koordinasi dengan kita," ujar Azhari saat dihubungi Dialeksis.com melalui sambungan selular.
Saat ini, tambahnya, tahun 2017 lalu Repsol sudah selesai melaksanakan tahapan seismic (proses untuk melihat apakah ada potensi minyak dan gas bumi-red).
"Rencana awal tahun depan kita bor, untuk membuktikan dilokasi tersebut ada minyak dan gas bumi," sebutnya.
Kalau dua perusahaan selanjutnya, lanjut Azhari, survei seismic baru selesai dilakukan tahun ini. Namun, ia belum mengetahui hasilnya karena hasil survei itu masih dipelajari oleh pihak perusahaan.
"Baru selesai bulan yang lalu. Soal hasilnya kita belum tahu karena masih dipelajari oleh mereka. Kalau memang hasilnya positif, rencananya tahun 2020 atau 2021 baru dilaksanakan proses pengeboran untuk membuktikan atau tidak," ujar Azhari.
Ia menerangkan ijin yang diperoleh perusahaan asing untuk mengekplorasi migas diberikan ijin pemerintah hingga 30 tahun. Azhari menyebutkan proses ekplorasi memang membutuhkan waktu yang lama.
"10 tahun pertama, mereka melakukan proses ekplorasi, mencari sana sini untuk melihat pada titik yang mana mengandung potensi migas. Kalau dalam 6 tahun pertama sudah dilakukan ekplorasi, namun ditemukan indikasi, diberikan 4 tahun tambahan. Tapi jika 10 tahun itu tidak menghasilkan apa-apa, maka kontrak itu putus, dan blok migas yang mereka kelola harus dikembalikan ke negara," tegasnya.
Ia menuturkan, BPMA sebagai lembaga yang mengawasi kontrak dan aktifitas perusahaan tambang di Aceh berharap rencana ekplorasi yang dilakukan tiga perusahaan asing dapat berjalan sesuai yang diharapkan sehingga dapat memberikan benefit bagi Aceh.
"Meskipun dua perusahaan tadi menjadi kewenangan pusat, namun kita punya kepentingan disana mengingat jika hasil yang diharapkan optimal maka kita mendapat 30% dari ekploitasi migas itu," terang Azhari. (imd)