Diduga Hijab Paskibraka Dipaksa Lepas, Sekjen ISAD: Islam Harus Dihargai, Khususnya Aceh
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Dr Teuku Zulkhairi MA, Sekjend Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Polemik dugaan pemaksaan pelepasan hijab bagi anggota putri Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional di Ibu Kota Negara (IKN) terus bergulir dan semakin memanas.
Isu ini mencuat setelah tidak ada satu pun anggota putri Paskibraka yang terlihat mengenakan hijab saat prosesi pengukuhan di Istana Negara, IKN, yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Momen tersebut menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk dari Aceh, wilayah yang secara kultural dan hukum sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Dr. Teuku Zulkhairi MA, Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (Sekjen ISAD) Aceh, menyampaikan pandangannya mengenai isu ini.
Dr. Zulkhairi menyoroti akar masalah yang ia nilai sebagai bentuk ketidakikhlasan sebagian elite terhadap penerimaan Islam secara utuh dalam kehidupan bernegara.
"Membaca berita mengenai anggota Paskibraka perempuan asal Aceh yang 'dipaksa' melepaskan jilbab, saya langsung teringat pada karya antropolog Australia, M.C. Ricklefs. Dalam buku tersebut, sangat jelas terlihat bahwa sebagian elit tidak ikhlas menerima Islam. Itulah akar masalah yang sebenarnya," katanya kepada Dialeksis.com, Kamis (15/8/2024).
Menurut Dr. Zulkhairi, ketidakikhlasan ini berakar dalam sejarah dan memengaruhi kebijakan serta tindakan yang diambil oleh beberapa pihak dalam mengelola keragaman di Indonesia.
Ia juga mengungkapkan bahwa sejarah menunjukkan bahwa Islam sering kali harus menyesuaikan diri dengan budaya lokal dalam pandangan mereka.
Ini berbeda dengan masyarakat Aceh, di mana Islam diterima dengan penuh keikhlasan. Di Aceh, budaya dan aturan-aturan lokal justru harus mengikuti Islam, bukan sebaliknya.
Ia menambahkan bahwa tindakan memaksa anggota Paskibraka asal Aceh untuk melepaskan jilbab adalah tindakan yang tidak hanya biadab, tetapi juga bertentangan dengan dasar negara Indonesia, Pancasila, yang mengakui keberagaman agama dan budaya.
"Kalau dengan aturan Syariat Islam di Aceh, tindakan itu sangat bertentangan. Bahkan, ini merupakan pelecehan berat karena dalam Islam, menutup aurat adalah kewajiban. Kita berharap pihak yang memaksa muslimah Aceh anggota Paskibraka melepaskan jilbabnya untuk meminta maaf. Mereka harus menghargai keragaman Indonesia, khususnya keislaman Aceh," ungkapnya.
Dr. Zulkhairi juga mengingatkan bahwa sikap tidak ikhlas terhadap Islam di kalangan tertentu di Indonesia bukanlah hal baru.
Merujuk pada teori Clifford Geertz, ia menjelaskan bahwa Islam di Jawa terbagi menjadi tiga kelas: Priyayi, Abangan, dan Santri.
"Kelas yang paling menantang Islam, atau yang paling tidak ikhlas menerima Islam adalah kelas Priyayi. Kelas Abangan hanya mengandalkan di mana ada uang di situ mereka datang, sementara kelas Santri adalah pejuang Islam yang konsisten dan ikhlas dalam berislam," paparnya.
Menurut Dr. Zulkhairi, perbedaan penerimaan Islam di Aceh dan Jawa mencerminkan betapa pentingnya memahami konteks kultural dalam penerapan kebijakan yang melibatkan nilai-nilai agama.
"Jika mereka (elite tertentu) terus mempertahankan ketidakikhlasan itu, maka itu urusan mereka. Tapi, yang jelas, mereka harus menghargai keragaman yang ada di Indonesia, terutama keikhlasan masyarakat Aceh dalam menerima Islam," tutupnya. [nh]
- Khairul Amal Kecam Keras Sikap BPIP Terkait Larangan Jilbab Paskibraka
- DPD IMM Aceh kritik BPIP terhadap Larangan Jilbab pada Paskibraka Muslimah
- PII Aceh Kecam Dugaan Larangan Berhijab Bagi Paskibraka Putri Tingkat Nasional
- Viral Dugaan Larangan Pakai Hijab, Utusan Paskibraka Aceh Tampil Tidak Berhijab di IKN