Dilema Media Sosial Sebagai Penyebar Berita Kekerasan Terhadap Anak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Indra Wijaya
Anggota Forum Journalis for Children, saat diskusi bedah kasus berita anak, bersama Aji dan UNICEF di D Energy Cafe, Lamsayeun, Aceh Besar, Senin (10/2/2020). (Foto: Indra Wijaya/dialeksis.com)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Maraknya berita kekerasan terhadap anak yang tersebar melalui media sosial, menjadi dilema tersendiri bagi wartawan dalam penyebaran berita tersebut.
Hal tersebut dikarenakan, informasi yang disebarkan melalui media sosial terkait berita kekerasan terhadap anak langsung menyebutkan detail lokasi tempat kejadian dan detail wajah anak korban kekerasan.
Hal ini berdampak pada psikologis anak itu sendiri. Dikarenakan, konten yang sudah tersebar dapat terus diakses sepanjang postingan tersebut belum dihapus oleh pengguna akun.
Merujuk dari kasus tersebut, Forum Jurnalis for Children bersama Aji dan UNICEF, melakukan diskusi bedah kasus (berita) liputan anak.
"Saat saya meliput kasus penganiyaan terhadap anak beberapa waktu lalu di Banda Aceh, ini menjadi dilema buat saya sendiri. Karena korban sudah duluan tersebar di media sosial dengan wajah anak langsung detail di tayangkan oleh pengguna akun bersangkutan," kata Zuhri, wartawan Kumparan, di sela diskusi, di D Energi Cafe, Lamsayeun, Aceh Besar, Senin (10/2/2020).
Ia mengharapkan penting adanya literasi kepada pengelola akun media sosial baik di Instagram maupun Facebook yang menyebarkan berita seputaran Aceh, untuk diberikan pedoman bagaimana menyebarkan berita kekerasan yang baik dan benar.
"Kalau bisa kita menghadirkan kawan-kawan yang mengelola akun media sosial agar diberikan pemahaman awal pedoman menyebarkan berita kekerasan terhadap anak," harapnya.
Komisioner, Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus D Nyak Idin, mengatakan untuk Aceh sendiri, mereka mengkliping beberapa berita terhadap anak. Mereka menemukan ada beberapa media non mainstream dan media sosial, menyajikan berita kekerasan terhadap anak yang tidak sesuai dengan pedoman berita layak anak.
"Ada temukan beberapa media non mainstream dan media sosial itu menyajikan berita tidak sesuai dengan pedoman berita layak anak," kata Firdaus.
Mereka juga pernah beberapa membuat diskusi di Kantor DPRA tentang berita ramah anak.mereka mengundang para awak media, akan tetapi untuk media non mainstream mereka tidak tahu kantornya dimana.
"Setelah kita print berita yang mereka sebarkan, dan juga kita melihat alamat mereka tidak ada. Ini salah menjadi kendala buat kita," katanya. (IDW)