Diskriminasi Hak Buruh di Aceh Marak Terjadi, Ini Kasusnya!
Font: Ukuran: - +
Reporter : Ratnalia
Habibi Inseun Aktivits Buru dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Aceh. Foto: net
DIALEKSIS.COM | Aceh - Meski Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law telah ditolak oleh berbagai kalangan, diskriminasi terhadap hak-hak buruh di Aceh masih marak terjadi. Aktivis buruh di provinsi ujung barat Indonesia ini mengungkapkan masih banyak hal yang perlu diperjuangkan untuk mewujudkan kesejahteraan kaum pekerja.
"Selain menyuarakan penolakan UU Cipta Kerja, kami juga menuntut penghapusan sistem kerja outsourcing dan menolak upah murah," ungkap Habibi Inseun Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (DPW FSPMI) Aceh melalui diskusi bersama Dialeksis.com, Rabu (01/05/2024).
Perjuangan lain yang disuarakan adalah pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di seluruh tempat kerja. Menurut Habibi Inseun, banyak kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan pekerja meninggal dunia atau cacat akibat kelalaian pemberi kerja dalam menyediakan alat kerja yang memadai.
Di Aceh sendiri, pihaknya mendorong agar Qanun (Peraturan Daerah) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Ketenagakerjaan di Aceh benar-benar menjadi payung hukum yang kuat dalam melindungi hak-hak pekerja terkait status kerja, upah, dan kepastian jaminan sosial.
"Kami melihat sejauh ini masih banyak pelaksanaan ketenagakerjaan dan norma-normanya yang belum terimplementasikan dengan baik. Apakah itu dari sisi pengawasan yang lemah atau kepatuhan pemberi kerja yang rendah," tutur Habibi Inseun.
Ia mendesak pemerintah Aceh, baik Gubernur maupun DPRA, untuk memastikan implementasi Qanun Ketenagakerjaan ini, terutama terkait pembayaran upah dan Tunjangan Hari Raya (THR), jam kerja, serta masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
"Kami berharap pemberi kerja juga mematuhi ketentuan tersebut agar mewujudkan kesejahteraan bagi pekerja di Aceh. Jadi, bukan hanya ingin berusaha di Aceh, tapi juga mau mengikuti ketentuan yang ada," tegasnya.
Tren kasus diskriminasi terhadap hak-hak buruh pasca-pandemi Covid-19, khususnya pada 2023 dan 2024, masih cukup tinggi. Permasalahan upah yang tidak sesuai, seperti struktur skala upah yang tidak diberlakukan, menjadi salah satu kasus yang kerap terjadi.
"Banyak kasus di mana perusahaan tidak membayar atau terlambat membayar THR pekerjanya, bahkan ada yang mencicil," ungkapnya.
Selain itu, status kerja pemagangan juga menjadi tren yang marak belakangan ini. Perusahaan banyak yang merekrut tenaga kerja dengan status magang untuk menghindari kewajiban membayar upah layak.
"Inilah yang kami suarakan agar sistem kerja outsourcing dan upah murah ini ditolak dan dihapuskan," tegas aktivis buruh tersebut.
Untuk mengawal perjuangan buruh di Aceh, pihaknya bersama aliansi buruh akan terus mengkampanyekan penolakan UU Cipta Kerja kepada pemerintahan baru nanti. Selain itu, aksi-aksi dan kampanye di media juga akan terus dilakukan.
"Kami akan mendorong dan menekan agar perhatian terhadap redistribusi kekayaan negara dan pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan benar-benar dilaksanakan," pungkasnya.
Aktivis buruh ini berharap, dengan bersatunya para pekerja dan terbentuknya organisasi buruh yang kuat, daya tawar mereka untuk bernegosiasi dengan eksekutif, legislatif, maupun pemberi kerja akan semakin besar dalam memperjuangkan nasib kaum pekerja di bumi Serambi Mekkah.