Selasa, 04 November 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dorongan Debat Terbuka Kandidat Rektor USK Menguat: Kampus Bukan Ruang Sunyi

Dorongan Debat Terbuka Kandidat Rektor USK Menguat: Kampus Bukan Ruang Sunyi

Minggu, 02 November 2025 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Arn

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USK, Firdaus Mirza Nusuary, M.A. Foto: for Dialeksis 


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menjelang pemilihan Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), dorongan agar para kandidat tampil dalam debat terbuka semakin kencang terdengar di lingkungan kampus. Sejumlah dosen dan mahasiswa menilai, forum debat adalah sarana penting untuk menguji visi, misi, dan kemampuan kepemimpinan calon rektor secara terbuka.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USK, Firdaus Mirza Nusuary, M.A., menegaskan bahwa kampus tidak boleh menjadi ruang sunyi dalam proses demokrasi akademik. Menurutnya, pemilihan rektor adalah momentum penting bagi seluruh civitas akademika untuk menilai arah masa depan universitas.

“Kampus bukan ruang yang tertutup dan steril dari debat gagasan. Justru di sinilah tempat paling ideal untuk mempertemukan ide-ide besar dengan rasionalitas publik akademik,” ujar Firdaus di Banda Aceh saat dihubungi Dialeksis, Minggu, 2 November 2025.

Firdaus menilai debat kandidat rektor bukan sekadar seremonial atau ajang pamer visi-misi, tetapi uji publik terhadap kapasitas kepemimpinan. Ia mengatakan, rektor bukan hanya pengelola administratif, melainkan figur intelektual yang memimpin arah akademik, riset, dan moral kampus.

“Rektor itu bukan manajer proyek, tapi pemimpin akademik. Maka kita perlu tahu: bagaimana calon ini berpikir tentang masa depan pendidikan tinggi, bagaimana ia memandang otonomi kampus, dan bagaimana ia bersikap terhadap kebebasan akademik,” katanya.

Menurutnya, debat terbuka dapat menjadi cermin transparansi dan akuntabilitas proses seleksi. Ia menilai keterlibatan publik kampus termasuk mahasiswa akan memperkuat legitimasi moral bagi rektor terpilih.

“Kalau semua proses berlangsung di ruang tertutup, mahasiswa dan dosen hanya menjadi penonton. Padahal, mereka adalah bagian dari universitas. Suara moral akademik harus hadir di ruang pemilihan,” tegasnya.

Firdaus juga mengingatkan bahwa tantangan USK ke depan semakin kompleks: digitalisasi pendidikan, kompetisi global, hingga tuntutan integritas akademik. Ia menekankan pentingnya calon rektor yang memiliki visi jangka panjang, bukan sekadar janji populis.

“Kita butuh pemimpin yang bisa menyeimbangkan antara akar lokal dan orientasi global. USK harus tetap berpijak di Aceh, tapi berlari di panggung dunia,” ucapnya.

Ia mencontohkan, penguatan riset kolaboratif lintas fakultas dan pembukaan jaringan internasional perlu menjadi prioritas utama. Selain itu, kepemimpinan baru harus mampu memperkuat kesejahteraan dosen dan mahasiswa, yang menurutnya sering menjadi aspek terpinggirkan dalam wacana pembangunan kampus.

“Kesejahteraan akademik itu bukan sekadar gaji atau fasilitas, tapi juga ruang tumbuh untuk berpikir dan berkreasi. Rektor harus memastikan atmosfer itu hidup di kampus,” ujar Firdaus.

Firdaus berharap debat terbuka kandidat rektor bisa menjadi tradisi baru demokrasi kampus di USK. Ia menilai, kampus seharusnya menjadi contoh praktik demokrasi yang cerdas dan beradab, bukan sekadar mengikuti prosedur formal pemilihan.

“Kita sering bicara tentang mencetak lulusan kritis, tapi justru enggan menghidupkan ruang kritis di dalam kampus sendiri. Debat rektor adalah cermin: apakah kita benar-benar percaya pada demokrasi akademik, atau hanya meminjam bahasanya saja,” tuturnya.

Ia menutup dengan harapan agar seluruh elemen kampus mendukung penyelenggaraan debat terbuka yang profesional, adil, dan informatif.

“USK harus menjadi rumah gagasan, bukan sekadar institusi administratif. Dari ruang debat seperti inilah masa depan universitas ini seharusnya dimulai,” kata Firdaus menutup komentarnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI