DIALEKSIS.COM | Aceh - Ahli ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Rustam Effendi, S.E., M.Econ, menegaskan bahwa Aceh mendesak memiliki Pusat Distribusi Perdagangan untuk memperkuat posisi ekonomi daerah.
Menurutnya, keberadaan pusat distribusi akan menjadi penghubung vital antara produsen, pasar nasional, dan jaringan perdagangan global. Apalagi Aceh memiliki struktur ekonomi yang kuat di sektor primer dengan andalannya pertanian.
Rustam menjelaskan, selama ini Aceh menghadapi persoalan klasik dalam rantai distribusi, termasuk struktur pasarnya yang lemah. Produk unggulan seperti kopi Gayo, gabah, hasil laut, karet remah, dan sawit mentah, sebagian besar masih harus melewati jalur distribusi luar daerah sebelum mencapai pasar besar. Akibatnya, produsen Aceh kehilangan kendali harga dan margin keuntungan banyak tersedot oleh perantara. Struktur pasar barangnya yang oligopsonistik juga sering melemahkan posisi tawar produsen kita.
“Petani dan nelayan kita kerap hanya menjadi price taker. Posisi tawar lemah karena pasarnya yang oligopsoni. Akibatnya, nilai tambah lebih banyak dinikmati pihak luar. Kelemahan dalam sistem distribusi selama ini juga kurang mampu menghubungkan langsung produsen kita dengan pembeli besar, baik di pasar nasional maupun pasar ekspor,” kata Dr Rustam kepada Dialeksis, Jumat (5/9/2025).
Ia menambahkan, tanpa pusat distribusi modern, produk Aceh rentan mengalami fluktuasi harga dan keterlambatan suplai. Ditambah lagi dengan minimnya proses pengolahan, maka semakin lengkaplah pembatas itu.
“Kondisi ini akan melemahkan daya saing. Padahal, Aceh punya potensi komoditas yang unik dan sangat diminati pasar global,” tegasnya.
Rustam mencontohkan sejumlah daerah di Indonesia yang berhasil meningkatkan perekonomian dengan membangun pusat distribusi modern. Sulawesi Selatan, misalnya, melalui Makassar New Port berhasil memperkuat posisi sebagai hub logistik kawasan timur Indonesia. Begitu juga Medan, yang menjadikan Belawan sebagai simpul perdagangan internasional Sumatera Utara.
“Kalau Aceh ingin menjadi pintu gerbang perdagangan Indonesia bagian barat, pusat distribusi ini wajib ada. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pelabuhan tanpa sistem distribusi terintegrasi,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan Pelabuhan Krueng Geukueh di Lhokseumawe, serta rencana pengembangan pelabuhan lain seperti gagasan Gubernur Aceh Mualem sesuatu yang sangat strategis. Urgensinya, ini harus ditopang oleh pusat distribusi yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan, pusat pengemasan, hingga layanan ekspor impor berbasis digital.
Lebih jauh, Rustam menilai pusat distribusi tidak hanya akan memperlancar arus barang, tetapi juga mampu menarik investasi di sektor hilirisasi yang sudah menjadi agenda nasional. Investor akan lebih tertarik menanamkan modal jika ada kepastian logistik yang efisien.
“Hilirisasi sawit, karet, hingga perikanan Aceh, misalnya baru akan berkembang kalau infrastruktur distribusi kuat. Pusat distribusi akan menekan biaya logistik, mempercepat akses ke pasar, dan memberi kepastian pasokan bahan baku bagi industri,” paparnya.
Selain itu, pusat distribusi perdagangan juga bisa mendorong lahirnya pelaku UMKM ekspor. Dengan fasilitas cold storage, packaging, dan koneksi digital, produk UMKM Aceh akan lebih mudah memenuhi standar internasional.
Rustam menekankan perlunya peran aktif Pemerintah Aceh dalam mendorong pembangunan pusat distribusi ini. Pemerintah, menurutnya, dapat menyediakan regulasi yang berpihak pada investasi seperti memberikan insentif fiskal, kemudahan birokrasi dalam perizinan, bebas pungutan liar, termasuk memfasilitasi kerja sama dengan sektor swasta.
“Pemerintah Aceh khususnya, harus benar-benar menjadi fasilitator dan berkolaborasi secara harmonis dengan pihak swasta. Model kerja sama publik“swasta (PPP) bisa ditempuh agar pembangunan pusat distribusi ini berkelanjutan dan dikelola secara profesional,” ucapnya.
Ia mengingatkan, tanpa keberanian membangun sistem distribusi yang terintegrasi, Aceh akan terus tertinggal. Tetap menjadi sasaran empuk daerah lain.
“Aceh harus memanfaatkan momentum emas ini. Letaknya sangat strategis di jalur pelayaran internasional Selat Malaka,” tambah Rustam.
Dengan pusat distribusi modern, Rustam optimistis Aceh bisa tampil sebagai pemain utama perdagangan regional. Letak geografis Aceh yang strategis, ditambah potensi sumber daya alam melimpah, dapat menjadikan Aceh sebagai episentrum ekonomi baru di ujung barat Indonesia.
“Ke depan, kita ingin Aceh tidak hanya menjadi penonton dalam arus perdagangan global. Dengan pusat distribusi, Aceh bisa bersaing dengan pelabuhan besar lain di Asia Tenggara dan menjadi simpul perdagangan yang diperhitungkan,” pungkas ekonom Aceh ini. [arn]