Dua Dekade Tsunami Aceh, Lem Faisal Ingatkan Pentingnya Ilmu untuk Memahami Hikmah Musibah
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali atau akrab disapa Lem Faisal. Foto Istimewa.
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua dekade telah berlalu sejak tsunami dahsyat mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Tragedi yang merenggut ratusan ribu nyawa itu menjadi peristiwa yang mengubah wajah dan sejarah Aceh selamanya.
Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali atau yang akrab disapa Lem Faisal, menjelaskan keprihatinannya terhadap realitas masyarakat Aceh yang mulai melupakan hikmah besar dari musibah tersebut.
Menurut Lem Faisal, masyarakat Aceh, khususnya generasi muda, kian kehilangan kesadaran tentang pentingnya memahami musibah sebagai peringatan dan tanda kekuasaan Allah.
Dia menekankan bahwa tsunami bukan hanya sekadar bencana alam, melainkan juga pelajaran hidup yang seharusnya memperkuat nilai-nilai keislaman dan kebudayaan Aceh.
“Tsunami adalah peringatan dari Allah. Tapi sayangnya, hikmah itu tidak lagi dipahami oleh banyak orang. Kita lihat hari ini, tindakan-tindakan yang menyimpang dari agama kian marak. Kesadaran terhadap musibah itu mulai hilang di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Lem Faisal kepada Dialeksis.com, Jumat, 27 Desember 2024.
Ia menyoroti bahwa hilangnya kesadaran ini tidak terlepas dari kurangnya ilmu dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjaga hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Menurutnya, keterbatasan ilmu menjadi akar persoalan yang membuat masyarakat tidak mampu merenungi hikmah besar dari bencana tersebut.
Lem Faisal menegaskan bahwa ilmu adalah landasan utama untuk memahami segala sesuatu, termasuk musibah. Ilmu, kata dia, mampu membawa seseorang pada pemahaman mendalam tentang hubungan manusia dengan Allah dan fenomena alam di sekitarnya.
“Problem utama kita adalah kejahilan, yaitu keterbatasan ilmu. Ilmu itulah yang seharusnya membuat kita sadar bahwa musibah ini adalah bagian dari tanda kekuasaan Allah. Dengan ilmu, kita bisa memahami hikmah dari setiap kejadian, termasuk bencana tsunami,” jelasnya.
Ia mengkritik kurangnya upaya kolektif dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan pendidikan dan kesadaran terhadap mitigasi bencana serta penguatan nilai-nilai keislaman.
Menurutnya, langkah nyata seperti menyediakan fasilitas pendidikan, peluang belajar, dan program-program berbasis ilmu pengetahuan harus menjadi prioritas utama pemerintah.
“Kebijakan pemerintah harus mendorong masyarakat untuk belajar. Pemerintah menyediakan fasilitas, sedangkan masyarakat harus punya semangat untuk terus belajar. Ilmu itu bukan hanya untuk kesejahteraan, tapi juga untuk menyadarkan kita tentang apa yang harus dilakukan sebagai hamba Allah,” tambahnya.
Lem Faisal juga menyoroti peran penting generasi muda sebagai penerus yang harus memahami betapa pentingnya refleksi dari musibah tsunami.
Ia menegaskan bahwa kesadaran terhadap bencana bukan hanya soal agama, tetapi juga ilmu tentang mitigasi dan langkah-langkah preventif yang dapat mengurangi dampak bencana di masa depan.
“Generasi muda kita harus paham bahwa bencana itu tidak bisa dihindari, tapi kita bisa memitigasi dan mengurangi kemudaratannya. Ini semua kembali pada ilmu. Jika generasi muda tidak paham, maka ke depan Aceh akan kehilangan arah,” tegasnya.
Ia mengajak semua pihak, termasuk ulama, pemerintah, dan masyarakat, untuk bersatu dalam menciptakan budaya belajar yang berorientasi pada peningkatan ilmu dan kesadaran kolektif.
Sebagai ulama, Lem Faisal juga menekankan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai keislaman dan budaya Aceh yang berakar pada syariat Islam. Ia berharap musibah tsunami bisa menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan manusia harus senantiasa memperkuat kedekatan dengan-Nya.
“Tsunami adalah pelajaran besar. Aceh dipilih Allah untuk menerima ujian ini agar kita bisa memperbaiki diri. Tapi jika kesadaran ini hilang, maka kita tidak akan pernah benar-benar belajar dari masa lalu,” tutupnya.