Minggu, 15 Juni 2025
Beranda / Berita / Aceh / Dukung Aceh Soal Empat Pulau, JK dan Sofyan Djalil Dinilai Pahami Semangat Perdamaian

Dukung Aceh Soal Empat Pulau, JK dan Sofyan Djalil Dinilai Pahami Semangat Perdamaian

Sabtu, 14 Juni 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Sekretaris Panglima Laot Aceh, Tgk Azwir Nazar, yang juga dikenal dengan sapaan Tgk Turki.[Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sekretaris Panglima Laot Aceh, Tgk Azwir Nazar, yang juga dikenal dengan sapaan Tgk Turki, menyampaikan apresiasi mendalam atas pernyataan mantan Wakil Presiden RI H. Jusuf Kalla (JK) dan Dr. Sofyan Djalil yang angkat suara terkait polemik empat pulau milik Aceh yang diklaim masuk ke wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri).

Dalam pernyataan yang disampaikan oleh JK di kediamannya pada Jumat, 13 Juni 2025, mantan wapres dua periode itu menegaskan bahwa batas wilayah Aceh harus merujuk pada klausul dalam MoU Helsinki serta konstitusi Indonesia, termasuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Sikap tersebut dinilai sangat relevan dan berpihak pada aspirasi masyarakat Aceh, terutama dari kalangan nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil laut di sekitar wilayah empat pulau tersebut.

“Apa yang disampaikan orang tua kita, Pak JK dan Pak Sofyan Djalil, sangat kami hargai. Ini bukan sekadar dukungan moral, tapi bentuk pengakuan terhadap hak dan sejarah Aceh. Mereka adalah dua tokoh penting dalam proses damai Aceh, dan kami yakin pandangan mereka punya bobot untuk dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Pusat,” ungkap Tgk Azwir kepada Dialeksis.com, Sabtu (14/6/2025).

Empat pulau yang kini menjadi polemik yaitu Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang yang sebelumnya masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, namun dalam Kepmendagri terbaru diklaim sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara, tepatnya wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga.

Keputusan tersebut telah memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat Aceh, termasuk para pemangku adat laut.

Menurut Tgk Azwir, dari perspektif adat laut, keempat pulau tersebut memiliki keterikatan historis dan fungsional dengan komunitas nelayan Aceh, terutama dalam hal jalur tangkapan, tempat berlindung saat cuaca buruk, hingga wilayah musyawarah nelayan yang diatur berdasarkan hukum adat laut Aceh yang sudah turun-temurun diberlakukan.

“Secara faktual, pulau-pulau itu merupakan bagian tak terpisahkan dari ruang hidup nelayan Aceh. Bahkan dalam banyak kasus konflik atau pelanggaran adat, penyelesaiannya dilakukan oleh Panglima Laot melalui pendekatan hukum laut adat Aceh, bukan melalui jalur pemerintahan Sumatera Utara,” ujarnya.

Tgk Azwir menambahkan bahwa keputusan Mendagri tidak hanya melukai harga diri masyarakat Aceh, tetapi juga berpotensi mengganggu suasana damai dan harmoni sosial yang telah terbangun pasca-perjanjian damai Helsinki tahun 2005.

Menurutnya, wilayah laut dan pulau-pulau kecil adalah ruang sensitif bagi masyarakat nelayan dan apabila dikelola dengan pendekatan administratif yang mengabaikan realitas sosial, bisa memicu konflik horizontal.

“Selama ini nelayan Aceh dan Sumut hidup rukun. Jika ada masalah di lapangan, selalu diselesaikan dengan hukum adat laut Aceh, tanpa konflik. Ini bukti bahwa empat pulau itu bagian dari Aceh secara adat dan sosial. Jadi wajar kalau masyarakat Aceh marah dengan keputusan ini,” tegas Tgk Turki.

Kehadiran pernyataan JK dan Sofyan Djalil dalam polemik ini dianggap sebagai angin segar dan harapan baru bagi masyarakat Aceh.

 Sebagai dua tokoh nasional yang turut merancang dan menyaksikan proses perdamaian Aceh, sikap mereka menunjukkan kepedulian terhadap substansi damai yang tak hanya sebatas senjata yang dibungkam, tetapi juga keadilan dalam tata kelola wilayah dan kehidupan rakyat.

“Kami menilai Pak JK dan Pak Sofyan masih sangat peduli terhadap Aceh. Mereka tahu semangat damai itu harus dijaga. Maka, apa yang mereka sampaikan seharusnya menjadi panggilan bagi Pemerintah Pusat untuk membahas ulang Kepmendagri dan menyelesaikan persoalan ini secara adil dan damai,” harapnya.

Panglima Laot Aceh secara kelembagaan juga menyerukan agar Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kantor Staf Presiden (KSP), tidak menunda-nunda upaya penyelesaian masalah ini, sebab dikhawatirkan akan melebar dan menimbulkan ketegangan antar komunitas nelayan di perbatasan.

“Kami minta agar pemerintah pusat tidak menutup mata dan segera membuka ruang dialog terbuka dengan Pemerintah Aceh, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Penyelesaian polemik empat pulau ini harus berbasis data sejarah, hukum, dan nilai-nilai damai yang kita jaga bersama selama dua dekade terakhir,” pungkas Tgk Azwir. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI