Dukungan Bagi Pelaku Usaha untuk Menuju Perkebunan yang Berkelanjutan di Aceh
Font: Ukuran: - +
Sesi dialog mengenai sinkronisasi kebijakan pemerintah dan akses pasar menuju tata kelola perkebunan berkelanjutan yang diisi oleh Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) wilayah Aceh, JB Cacao, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Aceh. [Foto: USAID SEGAR]
DIALEKSIS.COM | Medan - Pada tanggal 21 September 2022 telah dilaksanakan sebuah lokakarya berjudul “Peningkatan Kesiapan Pelaku Usaha Menuju Tata Kelola Perkebunan yang Berkelanjutan”.
Acara yang digelar di Kota Medan tersebut merupakan kerja sama Pemerintah Provinsi Aceh, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara, dengan jejaring mitra pembangunan, meliputi the World Resource Institute (WRI) Indonesia selaku Sekretariat Accountability Framework initiative (AFi) Asia Tenggara, USAID Sustainable Environmental Governance Across Regions (SEGAR), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), Forum Konservasi Leuser, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) dan beberapa mitra terkait lainnya.
Lokakarya ini merupakan bagian dari rangkaian metode ‘klinik’ yang diusung untuk memberikan dukungan kepada para perusahaan yang hendak memulai perjalanan menuju praktik rantai pasok berkelanjutan, serta menargetkan untuk masuk ke skema-skema keberlanjutan dalam usaha perkebunan.
Dukungan melalui kegiatan klinik tersebut berupa konsultasi dan penilaian dasar, pembuatan rencana aksi, serta bantuan asistensi teknis untuk mendukung perusahaan dalam memahami dan melaksanakan praktik terbaik dalam rantai pasok dan aktivitas produksi sehingga perusahaan memiliki kapasitas untuk siap masuk dalam skema-skema sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Turut hadir dalam acara tersebut, Khadikin, A.PI., MT mewakili Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menggarisbawahi pentingnya kolaborasi pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat dalam mewujudkan sektor perkebunan yang berkelanjutan.
“Melalui lokakarya ini, diharapkan dapat terwujudnya kolaborasi yang lebih baik, solid dan optimal antar pemangku kepentingan melalui diskusi bersama untuk menyiapkan strategi dan program tata kelola perkebunan berkelanjutan melalui kemitraan agar peluang akses pasar semakin besar,” demikian disampaikan.
Khadikin menambahkan, ketika komoditas ini berkelanjutan, kemudian diterima oleh konsumen yang memberikan nilai tawar tinggi, tentu di situlah keuntungan akan kita terima.
Dalam acara ini juga diadakan sesi talk show yang membicarakan tentang sinkronisasi kebijakan pemerintah dan akses pasar menuju tata kelola perkebunan berkelanjutan.
Sesi ini diisi oleh Ir Cut Huzaimah, MP selaku Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Aceh, Sabri yang mewakili Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) wilayah Aceh, Suharman mewakili JB Cacao, dan Wisnu Sunandar selaku Regional CEO Bank Syariah Indonesia (BSI) Aceh.
Salah satu yang menjadi poin utama dari diskusi ini adalah dorongan untuk sertifikasi komoditas yang dapat memberi insentif bagi para perusahaan, misalnya RSPO yang berpengaruh pada peningkatan harga komoditas di pasar global.
Sejumlah perusahaan dari Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara yang menjadi peserta juga mendapat pembelajaran dari praktik baik tata kelola usaha berkelanjutan dari dua narasumber, yaitu Socfin Indonesia dan PT SUCOFINDO.
Selanjutnya, dalam lokakarya yang sama, perusahaan mendapatkan pengenalan mengenai Accountability Framework dan diajak melakukan penilaian mandiri terkait kesiapan dan kapasitas untuk menerapkan praktik perkebunan yang berkelanjutan.
Tuntutan pasar terhadap perusahaan penghasil komoditas perkebunan dan sektor berbasis lahan untuk menerapkan praktik bisnis yang bertanggung jawab kian hari semakin tinggi. Prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (environment, social, and governance-ESG) menjadi persyaratan baru bagi para pelaku usaha untuk tetap mempertahankan pangsa pasarnya.
Meski sudah sering terdengar, masih sedikit perusahaan yang telah menerapkan prinsip-prinsip ESG tersebut dalam operasional bisnisnya.
Di sisi lain, makin banyak perusahaan yang sedang memulai perjalanannya menuju praktik bisnis berkelanjutan, dan mencari tahu bagaimana menerapkan tahapan-tahapannya secara terstruktur.
Kapasitas sumber daya perusahaan untuk memenuhi prinsip-prinsip berkelanjutan menjadi salah satu isu utama, khususnya di perusahaan-perusahaan skala kecil dan menengah.
Situasi ini juga terjadi pada berbagai perusahaan yang memiliki wilayah operasional di beberapa kabupaten di Provinsi Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, dan Aceh Utara.
Aceh Tamiang sendiri merupakan kabupaten anggota LTKL yang berkomitmen melindungi ekosistem penting di wilayahnya, termasuk pada sektor perkebunan.
Di Aceh, sektor perkebunan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan perekonomian setempat. Namun, perlu dipastikan bahwa dampak baik ke perekonomian juga sejalan dengan tanggung jawab dari sisi lingkungan dan sosial.[]