Dukungan Pemerintah Terhadap KKR Aceh Masih Belum Maksimal
Font: Ukuran: - +
Reporter : Akhyar
Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Dr Fajran Zain. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Eksekutif The Aceh Institute, Dr Fajran Zain mengatakan, lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sangat dibutuhkan untuk mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan.
Ia mengatakan, lahirnya Qanun 17/2013 tentang KKR Aceh diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan korban konflik di Aceh khususnya pada periode 1976 hingga 2005.
Objek fokus KKR Aceh, kata dia, tertuju pada para korban konflik, baik korban TNI, korban Polri maupun korban dari GAM itu sendiri. Fokus KKR ialah mendata korban konflik yang dipersekusi dalam konteks Hak dan Asasi Manusia (HAM) serta mereparasi dan pemulihan korban.
Setelah pendataan dilakukan, lanjut Fajran, pemulihan korban konflik ini juga dipilah-pilah sesuai kebutuhan. Terkadang terdapat korban yang perlu diterapi atau konseling psikologisnya akibat trauma yang dialami, bahkan ada juga pemulihan yang sifatnya fisik dan material.
“Jadi dipulihkan semua hak-hak mereka, dikembalikan semua hak-hak mereka dan itulah salah satu upaya yang harus dilakukan oleh komisioner sebelum nanti pada akhirnya tiba satu titik menuju rekonsiliasi total seluruh masyarakat Aceh antara pelaku dan korban,” ujar Dr Fajran kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (5/10/2021).
Dr Fajran melanjutkan, hingga kini, tugas, fungsi dan wewenang KKR Aceh sudah sesuai. Namun dalam perjalanannya agak sedikit tersendat di dukungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sebenarnya, kata dia, persoalan ini sudah menjadi persoalan lama. Ia mencontohkan, semisal target pendataan korban konflik ditargetkan mencapai 10 ribu, namun di akhir periode target pendataannya hanya mencapai angka 5 ribuan.
Bahkan, lanjutnya, secara pemulihan pun para korban konflik ini belum menerima efek dari reparasi atau kompensasi yang dirasakan oleh korban.
Ia menuturkan, proses reparasinya juga lelet dilakukan. Rekomendasi komisioner ke Gubernur Aceh terhadap 245 orang korban atas nama Immediate Repair (pemulihan segera) butuh waktu dua tahun bagi Gubernur Aceh untuk mengeluarkan Pergub. Bahkan setahun kemudian baru anggaran reparasi korban ini dirasakan oleh ke 245 orang tersebut.
“Itu pun perhatiannya tidak sesuai dengan aspirasi korban. Jadi pemerintah memberikan bantuan kepada 245 orang itu rata-rata 10 juta per kepala. Yang itu sebenarnya kurang tepat. Karena memang dari nama-nama yang direkomendasikan itu tidak semua orang membutuhkan uang. Ada mereka yang membutuhkan trauma konseling, ada juga yang memiliki kebutuhan lebih dari sekedar 10 juta,” terangnya.
Oleh karenanya, berkenaan dengan pemulihan dan kebutuhan korban konflik, Dr Fajran meminta Pemerintah Aceh untuk tidak menyamaratakan semua korban dengan satu bantuan yang sama. Tetapi disesuaikan dengan basis kebutuhan para korban.
“Makanya sebenarnya KKR sudah bekerja dengan Tupoksi yang ada, hanya saja menjadi kurang ideal ketika dukungan dari pemerintah tidak maksimal,” pungkasnya.