Ekses Kasus Suap Gubenur Aceh, Pusat Diminta Evaluasi Dana Otsus
Font: Ukuran: - +
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf usai menjalani pemeriksaan perdana pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (6/7/18). | Foto: Bisnis Jakarta/ADE
DIALEKSIS.COM | Jakarta- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan dalam pemberian dana otonomi khusus (otsus) setelah ada penangkapan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf oleh KPK. Fitra meminta pemerintah memperbaiki regulasi dan memperketat pengawasan penggunaan dana tersebut.
"Kami minta pemerintah memperbaiki regulasi dan pengawasan penggunaan dana otsus agar peruntukan dana otsus benar-benar sampai pada masyarakat," kata peneliti Fitra, Gulfino dalam keterangan pers pada Kamis, 5 Juli 2018.
Gulfino menilai regulasi yang buruk dan pengawasan yang lemah menjadi penyebab terjadinya kasus dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Ia ditangkap karena diduga menerima uang suap dari Bupati Bener Meriah Ahmadi dalam pengelolaan dana otsus tahun anggaran 2018.
Menurut dia, kasus suap yang menjerat Irwandi merupakan bukti masih buruknya regulasi yang mengatur pengalokasian dana otsus. "Itu adalah letupan akibat pengelolaan dana otsus yang penuh lubang," kata dia.
Ia mencontohkan regulasi yang mengatur pengalokasian dana otsus di Aceh. Pengalokasian dana otsus untuk Aceh diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh qabun 2/2013. Regulasi itu mengatur alokasi pendanaannya 60 persen provinsi dan 40 persen kabupaten/kota dengan menggunakan mekanisme transfer langsung ke kabupaten/kota.
Menurut Gulfino, ketentuan dari Qanun tersebut terindikasi bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. "Artinya secara regulasi pengalokasian dana otsus pun tidak sesuai dengan regulasi di atasnya," kata dia.
Selain itu, menurut Gulfino, pengelolaan dana otsus belum memiliki rumusan dan rencana induk yang akan menjadi acuan dalam implementasi kegiatan. Proses perencanaan pengelolaan dana otsus juga, kata dia, dimulai melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang).
Namun kenyataannya musrebang belum mampu menangkap usulan masyarakat sehingga perencaan pembangunnya seringkali tidak tepat sasaran. Minimnya ruang partisipasi masyarakat, kata Gulfino, membuat penggunaan dana Otsus tidak transparan. "Akibatnya dana otsus menguap tak jelas," kata dia
Gulfino mengatakan buruknya tata kelola dana otsus tak hanya terjadi di Aceh, tapi juga Papua dan Papua Barat. Hal itu kata dia menyebabkan masih terjadinya masalah sosial seperti kemiskinan dan kekurangan gizi di dua daerah paling Timur Indonesia itu. Padahal dana Otsus bagi daerah-daerah itu meningkat tiap tahun. "Dana Otsus di APBN 2017 sebesar Rp 19,5 triliun. Sementara itu, di APBN 2018 jumlahnya naik menjadi Rp 21,1 triliun," ujarnya.
Bercermin dari kasus korupsi di Aceh dan kekurangan gizi di Papua, Gulfino mengatakan Fitra meminta pemerintah melakukan evaluasi dalam pengelolaan dana otsus. "Kasus pengelolaan dana otsus di Aceh, Papua Barat, dan Papua menjadi cerminan, dana otsus yang telah sangat besar digelontorkan percuma bila pengelolaannya buruk," kata dia. (Tempo.co)