kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Elemen Sipil Minta Pemerintah Aceh Tak Buang Badan Tangani Kasus Singkil

Elemen Sipil Minta Pemerintah Aceh Tak Buang Badan Tangani Kasus Singkil

Rabu, 13 Juli 2022 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Kondisi salah satu rumah ibadah gereja di Aceh Singkil. [Foto: dok. KontraS Aceh]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejumlah lembaga masyarakat sipil di Aceh mendesak Pemerintah Aceh, dalam hal ini Tim Pembinaan dan Pengawasan Penanganan Perselisihan (TP4) Tempat Ibadah di Kabupaten Aceh Singkil, agar tidak membiarkan polemik pendirian rumah ibadah di Kabupaten tersebut berlarut-larut. Pihaknya menagih hasil kerja tim tersebut yang kabarnya baru saja berakhir tahun 2021 lalu.

Elemen sipil yang terdiri dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Solidaritas Perempuan (SP) Bungong Jeumpa Aceh, The Leader, Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA) dan sejumlah akademisi mempertanyakan keseriusan Pemerintah Aceh yang sebelumnya diberi kewenangan untuk melakukan serangkaian upaya menangani masalah pendirian rumah ibadah di Singkil. 

Hingga saat ini, publik seharusnya mengetahui apa saja hasil kajian TP4 selama dua tahun terakhir. Apalagi, kedua kelompok yang ditemui, baik kalangan muslim maupun kristen dan katolik di Singkil, juga perlu menerima hasil kajian itu.

“Dokumen hasil rekomendasi dari TP4 harus diberikan kepada publik, ini penting untuk melihat sejauh mana kesungguhan pemerintah dalam berupaya menyelesaikan masalah Singkil yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam, jangan sampai hanya bertemu untuk mengulang-ulang hal yang itu-itu saja,” kata Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra dalam keterangannya, Rabu (13/7/2022).

Di sisi lain menurut Rahmil Izzati dari Solidaritas Perempuan (SP) Bungong Jeumpa Aceh, perlu pertemuan-pertemuan intensif dengan masing-masing perwakilan kelompok agama di Singkil (Kristen Protestan, Katolik, dan Islam), agar para pihak sepakat berdialog dengan proporsi yang setara dan inklusif, termasuk dengan melibatkan unsur perempuan di dalamnya.

"Dalam beberapa kasus pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keagamaan, perempuan sering kali terlupakan, padahal mereka juga bagian dari masyarakat yang merasakan dampak dari kebijakan yang diputuskan," tutur Rahmil.

Demikian pula bila persoalan pembangunan rumah ibadah di Aceh Singkil tak bisa diselesaikan dengan baik, hal ini juga akan berpeluang melahirkan trauma yang diwariskan kepada generasi selanjutnya di Singkil.

"Hal itu akan jadi contoh buruk bagi generasi muda dalam merawat kerukunan umat beragama di Aceh Singkil," ujar Khalida Zia dari organisasi The Leader.

Keseriusan ini, juga terkait dengan langkah-langkah penyelesaian yang lebih komprehensif, di mana persoalan rumah ibadah di Aceh Singkil ini tak hanya dilihat dari pro-kontra jumlah pendirian gereja yang boleh didirikan, namun lebih mendorong kepada terjalinnya dialog antar umat beragama di daerah itu. 

Menurutnya lagi, peran Pemerintah Aceh seharusnya tak terbatas hanya sampai di tingkat rekomendasi saja.

“Tapi juga menuntaskan masalah ini secara menyeluruh, bukan justru melimpahkannya lagi ke Pemkab Singkil. Dulunya masalah ini diserahkan ke provinsi ya lantaran di tingkat kabupaten memang sulit diselesaikan, bukan?” tambah Hendra.

Kendati Pemkab Singkil punya kewenangan untuk menyelesaikan masalah itu, ujarnya, perlu diingat bahwa untuk menjalankan prosesnya membutuhkan asistensi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh. Intinya, persoalan yang kadung mencuat sejak 1970-an ini memang sudah membutuhkan intervensi dari Pemerintah Aceh.

Termasuk dalam upaya mendorong dialog, elemen sipil di Aceh mendesak Pemerintah Aceh yang seharusnya memfasilitasi ini. Perlu pertemuan-pertemuan intensif dengan masing-masing perwakilan kelompok agama di Singkil (Kristen Protestan, Katolik dan Islam), agar para pihak sepakat berdialog dengan proporsi yang setara. Untuk itu Pemerintah Aceh diminta netral dalam menengahi keduanya. Hal serupa ditegaskan akademisi Aceh, Sehat Ihsan Shadiqin.

“Dengan berlarut-larutnya masalah pendirian rumah ibadah di Aceh Singkil, ini terkesan pemerintah tidak punya political will untuk menyelesaikan masalah warganya. Pemerintah harus menempatkan semua warga negara dalam posisi yang setara yang memiliki hak yang sama dan adil dalam kehidupannya,” ujar Sehat Ihsan.

Di sisi lain, dosen Langsa, Yogi Febriandi melihat persoalan di Aceh Singkil karena kurangnya pemerintah Aceh melihat persoalan ini dari sudut pandang umat Kristen. 

Menurutnya, masalah utama terkait izin gereja ialah pemahaman tentang denominasi di dalam agama Kristen yang luas dan beragam.

“Umat kristen itu punya ragam sekte dan cara beribadah, yang berimplikasi pada institusi gereja dan afiliasi kegerejaan yang dianut. Pemerintah dan NGO harus memahami konsep denominasi ini, sebelum memutuskan kebijakan apa yang tepat bagi situasi Singkil,” kata Yogi.

Menurutnya, salah satu upaya awal yang mungkin bisa dilakukan pemerintah, adalah dengan melihat izin berdasarkan keberfungsian aktif rumah ibadah. Bukan lagi pada pantas atau tidaknya izin diberikan berdasarkan jumlah rumah ibadah yang dibandingkan dengan jumlah pengikut agama. 

"Ini persis seperti yang diakui oleh sebagian besar penganut Kristen di Singkil (sesuai temuan langsung KontraS Aceh di lapanhan) bahwa pendirian tempat ibadah sebagaimana yang disyaratkan pada Qanun 4/2016 tentang jumlah pengguna dan pendukung, nyatanya sangat sulit mereka penuhi," ucap Yogi.

Untuk itu, elemen sipil di Aceh meminta kebijakan pendirian tempat ibadah baiknya berbasis pada kebutuhan, bukan keinginan. Pemerintah Aceh harus turut serta memberikan jaminan hak-hak beragama yang adil kepada seluruh warga negara di Provinsi Aceh agar kebutuhan dasar pelayanan bagi warga Aceh terpenuhi. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda