DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Said Faisal, ST, MT, menegaskan bahwa aktivitas tambang ilegal bukan hanya melanggar hukum, tapi juga telah menimbulkan kerugian besar dari sisi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.
“Kalau kita bicara tambang ilegal, ini bukan semata soal siapa dapat uang dan siapa kehilangan. Ini soal alam yang rusak, air yang tercemar, masyarakat yang sakit, dan negara yang kehilangan pendapatan besar,” kata Said Faisal dalam Dialog Banda Aceh Pagi lni yang diselenggarakan oleh RRI Banda Aceh dengan Topik Mengungkap Tambang llegal di Aceh: Siapa Untung, Siapa Rugi?, yang dilansir oleh media dialeksis.com, Sabtu (4/10/2025).
Laporan Pansus DPRA pada rapat paripurna 25 September lalu menyebut ada sekitar 1.000 unit ekskavator beroperasi di tambang-tambang ilegal di Aceh. Setiap alat berat disebut-sebut menyetor Rp30 juta per bulan kepada pihak tertentu.
Jika dihitung secara kasar, jumlah itu bisa mencapai Rp360 miliar per tahun uang yang semestinya masuk ke kas negara dan daerah sebagai royalti pertambangan.
Menanggapi hal ini, Said Faisal menilai data tersebut perlu diverifikasi lebih lanjut. “Kami belum menerima data lengkap secara resmi dari Pansus. Tentu kami di ESDM Aceh akan melakukan verifikasi internal untuk memastikan validitasnya. Karena angka sebesar itu harus ditelusuri sumber dan pembuktiannya,” ujarnya.
Namun demikian, Said tidak menampik bahwa aktivitas tambang tanpa izin memang marak terjadi di sejumlah kabupaten, terutama di wilayah yang memiliki cadangan emas dan mineral non-logam.
“Faktanya memang ada aktivitas yang merusak lingkungan dan tidak memberi manfaat bagi pendapatan daerah. Ini harus segera ditertibkan,” tegasnya.
Menurut Said Faisal, dampak tambang ilegal jauh lebih luas daripada sekadar kehilangan pajak atau royalti. Ia menyoroti penggunaan air raksa (merkuri) dalam proses pengolahan emas yang kerap dilakukan tanpa standar keselamatan.
"Air raksa itu sangat berbahaya. Ia mencemari air, merusak ekosistem sungai, dan berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat,” katanya.
Selain itu, aktivitas tambang liar juga memicu konflik sosial di tingkat lokal, mulai dari perebutan lahan hingga munculnya ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat.
“Ketika tambang ilegal tumbuh, yang diuntungkan hanya segelintir orang. Tapi yang menanggung dampaknya adalah masyarakat luas,” ujar Said.
Dinas ESDM Aceh, kata Said, telah menyiapkan langkah penertiban dengan melibatkan aparat penegak hukum dan seluruh pemangku kepentingan.
Gubernur Aceh disebut sedang mempersiapkan Surat Keputusan Tim Penertiban Tambang Ilegal, yang akan menjadi dasar operasi terpadu untuk menghentikan kegiatan tanpa izin di seluruh wilayah Aceh.
“Kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian, TNI, serta pemerintah kabupaten. Harapannya, penertiban ini bisa berjalan efektif dan tidak hanya menyasar pelaku kecil, tapi juga aktor di baliknya,” jelas Said Faisal.
Meski begitu, ia menegaskan pentingnya pendekatan humanis dalam proses penertiban. “Kita sadar, sebagian masyarakat menggantungkan ekonomi mereka dari kegiatan tambang. Maka selain penegakan hukum, pemerintah juga harus hadir dengan solusi alternatif ekonomi, seperti program padat karya, pengembangan pertanian, atau pelatihan usaha,” tambahnya.
Said Faisal mengatakan bahwa tidak ada pihak yang benar-benar diuntungkan dari praktik tambang ilegal. “Kalau ditanya siapa untung, siapa rugi, jawabannya jelas: alam rugi, negara rugi, dan rakyat rugi. Yang untung hanya segelintir orang yang memanfaatkan celah hukum,” ujarnya.
Menurutnya, Aceh harus segera beralih ke tata kelola pertambangan yang transparan, berizin, dan berkelanjutan. “Kita punya sumber daya alam melimpah, tapi tanpa tata kelola yang baik, kekayaan itu justru menjadi sumber petaka,” tutupnya. [nh]