Fajran Zain Sebut Kriteria Calon Gubernur Aceh Jangan Terperangkap Masa Lalu
Font: Ukuran: - +
Reporter : Alfi Nora
Pengamat Politik Aceh, Dr Fajran Zain [For Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Daftar bursa calon Gubernur Aceh yang digadang-gadang akan diusulkan maju bertarung di Pilkada Aceh mendatang telah beredar di kalangan publik.
Dalam hal itu, The Aceh Institute sendiri juga bermitra dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh untuk melakukan survei terhadap nama-nama yang dikabarkan akan maju bertarung di Pilkada Aceh mendatang.
Kabarnya survei tersebut telah berjalan selama dua hari, namun hingga kini belum bisa dipastikan siapa-siapa yang akan menduduki peringkat pertama dari variabel penilaian terhadap popularitas dan elektabilitas dari survei yang mereka buat.
Direktur The Aceh Institute, Dr Fajran Zain mengatakan nama-nama yang masuk dalam daftar survei mereka meliputi orang-orang dari mesin partai dan non partai.
Adapun nama-namanya ialah Muzakir Manaf karena mesin partainya PA, lalu ada Nova Iriansyah karena incumbent (petahana), lalu ada Prof Farid Wajdi karena intelektualitasnya dan juga mantan rektor.
Terkhusus untuk mantan rektor, kata Fajran, sudah menjadi tradisi bahwa mantan rektor akan ikut bertarung dalam Pilkada Aceh. Hal itu dibuktikan karena dulu dulu ada mantan rektor yang bertarung seperti Syamsudin Mahmud, Ibrahim Hasan dan Darni Daud.
"Sudah menjadi tradisi bahwa mantan rektor yang aktif biasanya bertarung. Namun, apakah Prof Farid yang digadang-gadangkan juga akan mengambil peluang untuk ini, wallahua'lam," kata Fajran saat dihubungi Dialeksis.com, Senin (25/1/2021).
Kemudian, nama-nama yang masuk dalam daftar survei mereka meliputi tokoh-tokoh informal seperti Tu Sop dari Jeunib.
Lalu, ada nama seperti Haji Uma karena popularitasnya didorong untuk maju sebagai gubernur, kemudian ada Nasir Djamil, Illiza Sa'aduddin Djamal, Darwati A Gani, Aminullah Usman.
Kemudian Tgk Hasballah M Thaib atau yang lebih dikenal dengan nama Rocky di Aceh Timur, Ramli MS di Aceh Barat, Azar Abdurahman di Aceh Jaya, dan Sarjani Abdullah atau yang lebih dikenal dengan nama Awan.
Ada juga nama seperti T.A. Khalid, serta Teuku Riefky Harsya dari Demokrat dan lain sebagainya.
Adapun sisi menariknya, kata Fajran, Pilkada Aceh kali ini merupakan Pilkada periode keempat untuk menentukan nasib popularitas partai lokal.
"Periode pertama ketika menang Irwandi-Nazar itu kan nggak dihitung dari partai lokal, mereka independen. Kemudian, putaran kedua baru partai lokal Zaini-Mualem. Pilkada ketiga kan tumbang partai lokal, Irwandi-Nova kan bukan dari PNA yang digadang-gadangkan tapi lebih ke Demokrat kan," jelasnya.
Fajran mengkhawatirkan akan adanya skenario pemberangusan partal lokal di Aceh. Ia pernah membaca sebuah jurnal penelitian yang ditulis oleh Sidney Jones yang mengatakan bahwa masa keemasan partai lokal akan berakhir di era Pilkada 2022.
"Artinya gini, sekarang yang menggunakan partai lokal kan PA, mereka ya Mualem lah. PNA mau mengusung siapa, nggak cukup," kata dia.
Selain itu, ia juga mempertanyakan elektabilitas Mualem menjabat sebagai Gubernur Aceh nanti, karena untuk segi popularitas, Mualem sudah pasti populer tetapi untuk elektabilitas masih perlu dipertanyakan.
Adapun untuk sosok Mualem saat ini, kata dia, merupakan orang yang oposisi dengan kepemerintahan, artinya dia tak punya akses untuk sumber daya yang cukup.
Sedangkan untuk Nova nanti, lanjut dia, merupakan seorang petahana yang pro pemerintahan serta punya akses ke sumber daya yang cukup. Pelumas untuk mesin partai juga banyak walaupun berasal dari mesin Demokrat.
Fajran menyebutkan, masyarakat Aceh dalam menghadapi Pilkada Aceh mendatang tak ingin lagi memilih calon-calon yang punya hutang-hutang politik sehingga ada masyarakat yang mengalihkan pandangannya kepada sosok yang tak memiliki hutang politik hingga kemudian keluar lah nama-nama seperti Tu Sop, Prof Farid Wajdi, dan lain-lain.
"Yang saya mau bilang adalah sosok yang tidak punya sejarah masa lalu baik berurusan dengan cukong-cukong dan pihak-pihak lain, kemudian tidak punya beban sejarah kalau pun terpilih nanti," kata dia.
Adapun untuk sosok Nova dan Mualem, kata dia, masing-masing dari mereka punya beban dan sejarah masa lalu.
Ia menjabarkan beban Nova karena ia harus mendapat restu dan perlu melapor kepada DPP Demokrat di Jakarta. Semua keputusan yang diambil Nova tak bisa ia lakukan secara mandiri.
Sedangkan untuk Mualem, lanjut Fajran, lagi digiring dengan isu-isu anggaran untuk mantan kombatan dan katanya juga sedang dilirik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Fajran mengaku tidak mengetahui dengan pasti akan kebenaran isu ini, namun satu hal yang pasti ia menginginkan jangan sampai gubernur terpilih nanti justru jadi perangkap bagi kasusnya sehingga memimpin di bawah ancaman.
"Maksudnya di tekan nanti, jangan terlalu agresif dalam membuat kebijakan, jangan terlalu sok-sokan lah, jangan terlalu begini jangan terlalu begitu. Ini yang kita khawatirkan, bagusnya kita punya gubernur yang tidak punya beban di masa lalu," jelasnya.
Dalam hal tadi, ia menegaskan bahwa ia tidak ada maksud menyebutkan Nova dan Mualem sebagai kandidat yang tak layak bakal calon. Ia lebih mengarah kepada mengingatkan supaya Nova dan Mualem kalau pun terpilih nanti bisa menjaga jarak dengan beban-beban yang disebutkan tadi.
"Kita kan bicara soal kekhususan Aceh, bicara self parlemen, bicara bargaining (tawar-menawar) dengan pusat. Jadi, tarik ulurnya harus sensitif, harus lihai kita. Satu sisi kita tunjukkan taring bahwa kita bisa mandiri dan otonom serta mampu self-governance (pemerintahan mandiri)," ujarnya.
Adapun kriteria sosok pemimpin Aceh menurut Fajran ialah, pertama tokoh-tokoh yang tidak memiliki beban dan hutang di masa lalu.
Kedua, sosok yang relatif independen dan merdeka dalam membuat kebijakan dan berani mengambil keputusan. Dia berani berdiri untuk kepentingan rakyat serta tidak bisa disetir pada kepentingan individu atau pun kelompok partai.
Ketiga, gubernur yang mempunyai aspirasi, mengerti tentang kekhususan Aceh dan perihal pembangunan yang sedang dibangun di Aceh. Memahami bahwa proses perdamaian Aceh ini belum selesai.
Keempat, yang akuntabel, merakyat, tidak rakus, memahami syariat Islam, membela kepentingan umat Islam ditingkat nasional maupun lokal.
Kelima, adalah tokoh-tokoh yang bisa menjalin hubungan relasi baik dengan pemerintah pusat.