Flower Aceh: Tekanan Ekonomi dan Sosial Dorong Tingginya Angka Perkawinan Anak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Tim Peneliti Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Flower Aceh, Gebrina Rezeky [Foto: Nora/Dialeksis]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gebrina Rezeky, Tim Peneliti Forum Komunitas Perempuan Akar Rumput (FKPAR) Flower Aceh, mengungkapkan beberapa faktor utama yang menyebabkan tingginya angka perkawinan anak di bawah usia 19 tahun di Aceh.
Menurut Rezeky, faktor ekonomi merupakan penyebab dominan, karena banyak keluarga melihat pernikahan sebagai cara untuk meringankan beban ekonomi.
"Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), putus sekolah, disharmonisasi keluarga, pengasuhan negatif, masalah kesehatan reproduksi, penelantaran ekonomi, kekerasan terhadap anak, dan kepercayaan terhadap mitos turut berkontribusi pada tingginya angka perkawinan anak," sebut Gebrina dalam diskusi dengan tema Peran Media dan Jurnalis Perempuan Mencegah Perkawinan Anak dan Perkawinan Usia ≤ 19 Tahun, di Sekretariat Aceh Bergerak Banda Aceh, Jumat (24/5/2024).
Ia menambahkan ada stigma buruk bagi perempuan yang tidak memiliki kegiatan atau belum menikah, sehingga mereka dipaksa menikah.
Gebrina juga mencatat bahwa faktor-faktor seperti cinta dan keinginan menghindari perbuatan zina, pengaruh teman, pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah, serta kurangnya pengetahuan tentang pendidikan seks atau kesehatan reproduksi memainkan peran signifikan. Selain itu, kemajuan teknologi dan tontonan melalui media sosial, lemah peran keluarga dan pola asuh orang tua, serta pemaksaan akibat pasangan tertangkap basah juga menjadi faktor penting.
Dampak Buruk Perkawinan Anak
Perkawinan anak membawa dampak negatif yang luas. Gebrina mengungkapkan dampaknya mencakup KDRT, masalah psikis, gangguan reproduksi, kematian ibu dan anak, putus sekolah, masalah ekonomi, beban ganda, hingga bullying.
"Dampak lanjutan seperti stunting atau pertumbuhan anak yang terhambat secara fisik dan mental juga menjadi ancaman serius. "Ini membebani orang tua dalam hal pengasuhan, ekonomi, dan pemenuhan nafkah, sering kali berujung pada penelantaran anak," jelasnya.
Strategi Pencegahan yang Optimal
Untuk mengatasi masalah ini, Gebrina menekankan pentingnya sosialisasi pencegahan serta fasilitasi ruang positif dan kreatifitas di tingkat lembaga pendidikan dan gampong.
"Melibatkan tokoh agama untuk mengedukasi para penyuluh agar tidak terlibat dalam pernikahan anak seperti nikah siri juga sangat penting," katanya.
Ia juga menekankan perlunya integrasi pendidikan calon pengantin yang memuat materi edukasi tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, kesehatan reproduksi, hak kesehatan seksual reproduksi, serta pola asuh positif. "Peningkatan keterampilan anak juga harus menjadi fokus utama," tambahnya.
Optimalisasi peran multipihak, termasuk anak, orang tua dan keluarga, pemerintah, masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, media, akademisi, dan swasta sangat diperlukan dalam pencegahan perkawinan di bawah usia 19 tahun.
"Advokasi kebijakan dan alokasi anggaran desa harus diperkuat untuk mendukung upaya ini," tegas Gebrina.
Dengan kolaborasi yang komprehensif dari berbagai pihak, diharapkan angka perkawinan anak dapat ditekan dan masa depan generasi muda Aceh dapat terjamin lebih baik.