For-Bina: BKSDA Jangan Tebang Pilih dalam Penegakan Hukum Konservasi di Aceh
Font: Ukuran: - +
Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (For-Bina), Muhammad Nur SH. [Foto: for dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) jangan tebang pilih dalam penegakan hukum konservasidi Aceh. Kesenjangan dan penggunaan standar ganda dalam penanganan Konflik satwa dan konflik agraria dalam hutan konservasi hanya akan menambah konflik baru dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap BKSDA.
Penegasan ini disampaikan Direktur Eksekutif Forum Bangun Investasi Aceh (For-Bina), Muhammad Nur SH, kepada Dialeksis.com pada Selasa (7/1/2025).
"Tidak ada sanksi hukum terhadap perusahaan ketika ditemukan gajah mati dalam areal izin perkebunan seperti yang terjadi di Aceh Barat, dan beberapa tahun sebelumnya juga pernah terjadi di Aceh Utara. Beda halnya jika satwa dilindungi tersebut mati dilahan perkebunan masyarakat, maka proses hukum dilakukan oleh pihak BKSDA," ucap M Nur.
Padahal dalam Qanun Aceh No 11/2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar cukup tegas disebutkan ada sanksi administrasi terhadap perusahaan yang memegang izin yang melanggar dan/atau lalai yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan satwa liar dapat diberikan sanksi administrasi berupa penghentian sementara pelayanan administrasi, penghentian sementara kegiatan dilapangan, dan pencabutan izin.
"Namun sejauh ini BKSDA belum berani melakukan itu, hanya berani dengan rakyat kecil," kritik M Nur.
Kemudian, masih lanjut M Nur, catatan buruk lainnya dalam hal penanganan konflik agraria dalam kawasan konservasi sebagaimana yang terjadi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Penggunaan aparat keamanan dalam menertibkan perkebunan masyarakat bukanlah cara dan strategi yang tepat diberlakukan di Aceh.
"Mengingat Aceh memiliki riwayat konflik berkepanjangan dan krisis lahan pertanian, dikhawatirkan akan lahir konflik baru antara warga dengan BKSDA," tuturnya.
Menurut M Nur, masih banyak strategi lain yang dapat dipakai lebih humanis dan tidak merugikan masyarakat kecil. Perilaku pengrusakan dan pemusnahan komoditas perkebunan masyarakat merupakan prilaku arogansi yang harus segera dihentikan oleh BKSDA.
"Pemerintah Aceh harus mendesak pemerintah pusat untuk dievaluasi kinerja BKSDA di Aceh. BKSDA harus menghormati hak masyarakat adat dan kearifan lokal yang berlaku di Aceh," ucapnya.
M Nur megaskan melindungi kekayaan spesies kunci juga bagian dari investasi besar indonesia, sehingga For-Bina menilai kegagalan BKSDA ini harus menjadi perhatian khusus Kementerian untuk menggantikan kepala BKSDA di Aceh.
For-Bina mencatat 180 kasus konflik antara manusia dan satwa liar sepanjang tahun 2024. Jumlah ini menurun 21% dibandingkan tahun 2023, yang mencatat 218 kejadian. Dalam periode lima tahun terakhir, dari 2019 hingga 2024, tercatat total 896 konflik satwa-manusia di Aceh.
"Angka ini cukup memprihatinkan, terutama karena kebijakan pemerintah belum mendukung upaya konservasi secara maksimal," pungkas Muhammad Nur. [*]
- For-Bina Minta Mualem-Dek Fadh Pilih Sekda Tegas dan Loyal
- For-BINA Desak Mualem-Dek Fad Prioritaskan Investasi untuk Bangun Aceh
- Perjuangan 8 Tahun Berbuah Manis, TPFF Karang Ampar: Konservasi Gajah Harapan Kami Sejak Lama
- For-Bina Apresiasi Prabowo Hibahkan 20 Ribu Hektare untuk Konservasi Gajah di Aceh