GeRAK: SP3 Kasus Korupsi KIP Pijay Picu Potensi Korupsi Model Baru
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menyoroti penghentian penyidikan atau SP3 dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pidie Jaya terkait kasus dugaan korupsi dana hibah Pilkada Pidie Jaya tahun 2018 di Komisi Independen Pemilihan (KIP) Pidie Jaya.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani mengatakan, terkait jumlah yang dikorupsi Rp 104 juta, merujuk pada aspek korupsi, maka perbuatan korupsi sekecil apapun tetap dipandang sebagai sebuah kejahatan luar biasa, teroganisir dan sistematis.
"Karena ini kejahatan luar biasa, maka tidak boleh dilihat jumlah angka yang dikorupsi, selama kejahatan itu dilakukan disengaja maka unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi dan tidak boleh pilah pilih," jelas Askhalani kepada Dialeksis.com, Kamis (7/1/2021).
Koordinator GeRAK Aceh itu berujar, jika model perkara seperti yang dilakukan oleh Kajari, maka akan berpotensi dan berimbas ke depan di mana orang akan cenderung melakukan perbuatan korupsi bersama-sama.
"Dan jika tidak terbukti aman, tinggal kembalikan anggaran dan ini akan menjadi preseden buruk dalam metode pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya Aceh," tambahnya.
Ia melanjutkan, kasus SP3 perkara KIP Pidie Jaya ini tergolong unik, karena awal penyidikan perkara Kajari Pijay begitu bersemangat dan seolah-olah kasus ini akan menjadi prioritas yang membuat publik menaruh harapan besar dan bagitu berjalan.
"Ternyata di-SP3 dan ini menunjukkan bahwa metode penyidikan perkara korupsi benar-benar tidak dipahami secara utuh dan terkesan hanya show, seharusnya perlu dipahami bahwa kejahatan tindak pidana korupsi adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) jadi butuh analisa khusus pada saat perkara ini akan ditindak lanjuti," ujar Askhalani.
"Terutama melihat bukti-bukti kuat apakah perkara ini terpenuhi unsur yang cukup atau hanya perlu dilakukan pendalaman materi audit oleh APIP (Aparat pengawasan Intern Pemerintah) kemudian kerugian dikembalikan, jadi tidak perlu tergopoh-gopoh menyidik perkara tapi begitu didalami ternyata kerugian negara lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan negara untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan sampai perkara berketetapan hukum tetap," tambahnya.
Koordinator GeRAK Aceh itu berujar, sekarang perlu diberikan pemahaman utuh kepada aparat penegak hukum bahwa sebelum melakukan penyidikan pada satu objek perkara, harusnya dilakukan di sub-koordinasi dengan APIP di daerah, dan berikan waktu 60 hari untuk menghitung kerugian dan menelaah terhadap objek perkara.
"Jika sudah ditemukan adanya unsur perbuatan dan melawan hukum atau kerugian negara yang pasti baru perkara ditindaklanjuti, sedang kasus KIP ini tergolong kasus tergopoh-gopoh untuk show karier, sehingga dengan begitu tidak sesuai maka akan jadi masalah baru," jelas Askhalani.
"Seharusnya metode pemberantasan korupsi yang paling jitu adalah dengan metode operasi tangkap tangan (OTT) karena begitu cukup 2 alat bukti yang cukup perkara langsung di tingkatkan ketahap penyelidikan," pungkasnya.