Gubernur Aceh Diminta Serius Tertibkan Perusahaan Tambang Bermasalah
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi pertambangan (ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ss/pd/14)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yakni Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh dan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) mendesak Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah untuk menindak tegas perusahaan pertambangan yang bermasalah di Aceh.
Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan saat ini masih banyak perusahaan yang bermasalah di Aceh, namun belum ada penyelesaian secara tegas oleh Pemerintah Aceh.
"Jika terus seperti ini pemerintah terkesan tidak konsisten terhadap penyelamatan hutan dan lahan di Aceh," kata Hayatuddin di Banda Aceh, Minggu (29/7/2018).
Menurut Hayatuddin, tidak konsistennya Pemerintah Aceh, terlihat dari adanya salah satu perusahaan seperti PT Orgonik Semesta Subur (OSS) yang mendapatkan surat izin lingkungan dari Pemerintah Daerah, dimana saat ini perusahaan tersebut juga sedang dalam proses peningkatan status ke operasi produksi.
"Anehnya surat izin lingkungan untuk PT OSS itu dikeluarkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMP2TSP) Kota Subulussalam dengan nomor 503/081/75.208.3/2018 tertanggal 05 Maret 2018," ujar Hayatuddin.
Seharusnya, kata Hayatuddin, berdasarkan Undang-Undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa kewenangan mengenai perizinan sudah menjadi tanggungjawab pemerintah provinsi bukan pemerintah Kabupaten/kota.
"Untuk itu kita mendesak Plt Pubernur tegas mengambil tindakan dengan mencabut surat izin lingkungan yang dikeluarkan oleh DPMP2TSP Kota Subulussalam tersebut," pintanya.
Selain itu, GeRAK juga menduga penerbitan surat tersebut sengaja dilakukan tanpa melihat aturan yang ada, bahkan patut diduga ada sesuatu "permainan" sehingga dinas mengeluarkan izin lingkungan tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan menilai penerbitan izin lingkungan untuk PT OSS oleh DPMP2TSP Subulussalam itu diduga cacat demi hukum karena berbenturan dengan UU 23 Tahun 2014 yang mengamanahkan semua kewenangan terkait perizinan sudah berada ditingkat provinsi.
Badrul menduga, perusahaan tersebut cukup bermasalah mulai dari tidak memenuhi kewajiban untuk membayar iuran tetap (Royalty) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai triwulan keempat tahun 2015 sebesar Rp 903.111.334. Serta diduga belum mempunyai dokumen AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL). (KBRN/RRI)