DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Keluhan pilu menggema di kalangan tenaga kesehatan (nakes) dan pegawai Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin (RSUDZA) Aceh. Selama tiga bulan berturut - turut Januari hingga Maret 2025 hak mereka atas Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan jasa medis tak kunjung cair. Padahal, Lebaran tinggal sepekan lagi.
Seorang perawat yang meminta namanya dirahasiakan mengungkapkan dampak keterlambatan ini. “TPP dan jasa medis adalah napas kami. Dari situ, kami membiayai kebutuhan harian, sekolah anak, hingga persiapan Lebaran. Sekarang semua serba tak pasti,” ujarnya lirih saat berbincang dengan Dialeksis.com, Kamis (20/3/2025).
Kebijakan Pemerintah Aceh melalui Peraturan Gubernur (Pergub) yang belum jelas implementasinya diduga menjadi biang keladi.
“Kalau memang BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) tak berhak dapat TPP, kenapa tak diumumkan sejak awal? Kami seperti diombang-ambing,” protesnya.
Memastikan kejelasan perihal hak Nakes yakni TPP, Dialeksis.com menghubung dr. Masry, SpAn Wakil Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh. Menurutnya TPP dan jasa medis bukan sekadar insentif, melainkan hak yang dijamin undang-undang. Pasal 58 PP No. 12 Tahun 2019 menegaskan, TPP wajib diberikan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan beban kerja, lokasi tugas, dan prestasi. Sementara, untuk pegawai BLUD seperti di RSUDZA, hak atas jasa pelayanan diatur dalam Pergub Aceh No. 101 Tahun 2013.
Sayangnya, sejak Januari 2025, hak tersebut terhambat oleh kebijakan Pemda Aceh yang dinilai tumpul. “Ini melanggar UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023. Tenaga medis berhak mendapat imbalan layak,” ujarnya.
Dokter spesialis anestesi sekaligus praktisi kesehatan ini, menegaskan pemerintah tak boleh abai. “Pasal 273 UU Kesehatan dan PP No. 28/2024 jelas menyebut hak tenaga kesehatan atas tunjangan kinerja. Ini bukan sekadar janji, tapi kewajiban hukum,” tegasnya.
Ia merinci sejumlah payung hukum yang dilanggar: UU No. 17/2023 tentang Kesehatan (Pasal 273c): Menjamin imbalan jasa dan tunjangan layak, Permendagri No. 79/2018 tentang BLUD: Remunerasi wajib diberikan sesuai tanggung jawab, dan Pergub Aceh No. 101/2013: Jasa medis untuk pegawai RSUDZA wajib dipenuhi.
“Kalau pemerintah tak serius, bagaimana nakes bisa fokus melayani pasien?” tambah Masry.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari Gubernur Aceh atau Direksi RSUDZA. Padahal, para nakes mulai terjepit. Sebagian terpaksa meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan Lebaran.
“Banyak rekan sudah mengajukan utang ke koperasi. Kalau tak segera dibayar, kami bisa kolaps,” keluh seorang bidan.
Keterlambatan ini juga berpotensi memicu gelombang protes. “Kami hanya ingin hak kami dihormati. Jangan sampai RSUDZA kehilangan tenaga kompeten karena kebijakan tak manusiawi,” ucap perawat lainnya.
“Nasib ratusan nakes RSUDZA kini menggantung. Di tengah tuntutan pelayanan kesehatan prima, mereka justru dibebani ketidakpastian ekonomi. Jika pemerintah tak segera bertindak, bukan hanya kesejahteraan yang terancam, tetapi juga kualitas layanan rumah sakit terbesar di Aceh ini,” tutup dr. Masry, SpAn dokter humble ini.