Hampir Mustahil Pilkada Aceh Digelar 2022
Font: Ukuran: - +
Reporter : ASYRAF
Ilustrasi. Warga memasukkan surat suara saat pelaksanaan pemungutan suara Pilkada. (Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pilkada Aceh dipastikan mengikuti Jadwal Pelaksanaan Pilkada Serentak Nasional pada tahun 2024 menyusul dikeluarkannya surat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia Nomor 270/2416/OTDA tanggal 16 April 2021.
Sejumlah pakar hukum di Aceh menyebut bahwa memang tipis peluang Pilkada Aceh tetap digelar pada tahun 2022. Praktisi Hukum, Imran Mahfudi menyebut hal tersebut hampir mustahil, terkecuali terdapat perubahan pada undang undang Pilkada.
“Nyaris enggak mungkin pilkada aceh dilaksanakan tahun 2022, kecuali ada perubahan pasal 201 ayat (8) UU Pilkada atau ada putusan MK yang mebatalkan ketentuan tersebut. Jadi soal kapan pelaksanaan Pilkada aceh ini memang murni persoalan perintah UU sehingga gak ada kaitan dengan kemampuan untuk melakukan lobi-lobi politik ke pemerintah pusat. saya kira ini hal yang penting untuk disampaikan agar persoalan tidak bisa dilaksanakan pilkada aceh 2022 tidak dimanfaatkan sebagai issue politik untuk saling menyerang diantara elit aceh” jelas imran Mahfudi kepada DIALEKSIS.COM, Kamis (29/4/2021).
Ketika ditanyakan apakah tidak mungkin pilkada aceh berdiri sendiri. Dalam arti tidak mengikut sertakan mekanisme serentak nasional. Wakil Ketua Umum DPP Peradi Pergerakan ini menyebut mungkin saja diperjuangkan dulu ketika lahir UU Pilkada yang mengatur pilkada serentak nasional, sehingga ada penegasan dalam UU tersebut bahwa pilkada serentak nasional tidak berlaku di aceh, dimana ketentuan pilkada serentak nasional sudah diputuskan sejak 2 Oktober 2014 melalui perpu 1/2014 kemudian disahkan menjadi UU 1/2015.
“namun untuk saat ini hal tersebut sudah tidak memungkinkan dilakukan, karena aceh sudah dua gelombang ikut dalam skema pilkada serentak nasional yaitu pilkada 2017 dan pilkada 2018 bahkan Qanun 12/2016 tentang pilkada juga sudah mengakomodir pilkada serentak nasional apalagi ada banyak putusan MK yang menegaskan bahwa pilkada bukan kekhususan Aceh. itu termasuk yang mengherankan bagi saya, produk UU yang sudah lahir pada tahun 2014 kok baru sekarang dipersoalkan.” Ujar imran.
Sulit dicari pembenaran Hukum
Pandangan senada juga disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK) , Khairil Akbar kepad DIALEKSIS.COM . Menurutnya peluang hukum agar Pilkada Aceh tetap dilaksanakan pada tahun 2022 sulit dicari pembenarannya secara hukum bahkan jika diajukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
“Dalam konteks hukum, Pilkada 2022 sudah tidak ada peluang. Bahkan jika diajukan JR ke MK, sulit dicari pembenaran atau dalil hukumnya. Terlebih, Pasal di dalam UUPA itu menyatakan bahwa Pilkada itu lima tahun sekali yang merupakan norma umum dan di semua UU, baik UU Pemilu dan Pilkada memang 5 tahun sekali siklusnya. Kecuali normanya berbeda, maka ada peluang. Misal dengan membuktikan bahwa Pilkada 2024 cacat formil sebagaima beberapa Pasal dalam UU 7/2017 tentang Pemilu pernah dibatalkan oleh MK. Tapi, apa iya UU yang berlaku sejak lama itu cacat formil? Aceh pernah ikut kok dalam skema Pilkada Serentak. 2024 itukan puncak dari agenda menyerentakkan Pilkada. Kalaupun harus dipaksa, hanya Perppu yang dapat mengubah keadaan. Masalahnya, apa 'hal ihwal kegentingan yang memaksa' dalam situasi ini?” jelas Tim Asistensi Panwaslih Provinsi Aceh tahun 2018 “ 2019 ini.
Lebih lanjut, menurut Kharil Pilkada Aceh memang bukanlah kekhususan Aceh. Berpijak pada hukum (UU) yang ada, Aceh tidak istimewa/khusus di bidang itu. Karenanya mustahil Pilkada Aceh bisa berdiri sendiri tanpa mengikuti mekanisme yang ditetapkan secara nasional.
“Agenda Pilkada asimetris yang sempat diwacanakan bukan soal tahun pelaksanaan atau masa jabatan, melainkan masalah langsung atau tidak langsung. Kalaupun memang mau berbeda, masukkan dalam agenda perubahan UU Pemilu mendatang (kalau kembali masuk prolegnas), atau desak revisi UUPA. Pengaturan Pemilu dan Pilkada di UUPA itu sangat temporal dan memang diniatkan untuk tahun 2006 dan 2009 (baca MoU). Makanya banyak yang nggak bisa dipakai lagi. Kewenangan MA dalam sengketa hasil pilkada misalnya, calon independen, kelembagaan panwaslih, semua itu sudah expired. Kenapa bisa? Ya karena niatnya memang untuk menjawab Pilkada dan Pemilu yang sudah di depan mata sesaat setelah UUPA disahkan (2006 dan 2009). Selebihnya ya akan mengikuti perkembangan yang ada. Lagi pula, dalam hukum, kalau kita mengacu pada asas preferensi hukum, maka UU Pilkada dan Pemilulah lex specialis dalam masalah Pilkada dan Pemilu. Kecuali di dalam UUPA ditetapkan bahwa Pemilu dan Pilkada merupakan kekhususan atau keistimewaan bagi Aceh. Kalau sekadar diatur, nyaris tidak ada UU khusus yang seluruhnya isinya khusus. Termasuk UUPA, banyak sekali norma umum di dalamnya.” pungkas khairil. (asy)