kip lhok
Beranda / Berita / Aceh / Harapan kepada Gubernur Baru: Sawit Aceh untuk Rakyat Bukan Mafia

Harapan kepada Gubernur Baru: Sawit Aceh untuk Rakyat Bukan Mafia

Minggu, 03 November 2024 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Kumpulan tandan buah sawit segar di desa Gampong Teungoh kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh  -Meskipun memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang luas, kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan di Aceh masih jauh dari harapan. 

Fakta ini diungkap oleh Iskandar Dewantara, Koordinator Monitoring dan Evaluasi Yayasan Geutanyoe, yang menyoroti bagaimana luas perkebunan sawit ternyata belum mampu mengangkat masyarakat Aceh dari kemiskinan. 

“Luas perkebunan sawit terbesar di beberapa kabupaten di Aceh tidak bersinergi dengan upaya pengentasan kemiskinan rakyat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemimpin daerah,” ujar Iskandar.

Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Kabupaten Aceh Singkil, yang memiliki luas perkebunan sawit mencapai 33.050 hektar, tercatat sebagai kabupaten termiskin di Aceh dengan tingkat kemiskinan mencapai 19,06%. 

Ironisnya, kabupaten ini justru menempati urutan kedua terbesar dalam luas perkebunan sawit di Aceh, yang seharusnya menjadi potensi besar untuk mendongkrak ekonomi lokal. 

Tidak hanya Aceh Singkil, Kabupaten Pidie yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi kedua di Aceh, dengan angka kemiskinan mencapai 18,59%, hanya memiliki luas perkebunan sawit 280 hektar. 

Sementara itu, Kabupaten Gayo Lues, yang sama sekali tidak memiliki perkebunan sawit, tercatat sebagai daerah termiskin ketiga dengan tingkat kemiskinan sebesar 18,34%. 

Begitu juga dengan Kabupaten Pidie Jaya yang memiliki luas kebun sawit sekitar 1.564 hektar namun tingkat kemiskinannya tetap tinggi di angka 18,28%.

Total luas perkebunan sawit di Aceh mencapai 258.992 hektar, tetapi ironisnya, angka kemiskinan di provinsi ini tetap tinggi. 

Menurut Iskandar, hal ini menandakan bahwa keberadaan perkebunan sawit yang masif belum berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat setempat. 

“Rakyat Aceh masih terjebak dalam kemiskinan, meskipun ada hamparan luas kebun sawit. Bahkan, mereka kini harus menghadapi banjir dan kekeringan akibat deforestasi yang tak terkendali demi perluasan kebun sawit,” paparnya.

Banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi diduga berkaitan langsung dengan deforestasi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pengembangan perkebunan sawit. 

Dampak lingkungan ini tidak hanya mengancam kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi juga mengakibatkan kerugian ekonomi dan meningkatkan kerentanan terhadap kemiskinan.

Iskandar juga menyoroti masalah lain: sebagian besar minyak sawit mentah (CPO) dari Aceh dikirim ke Medan karena tidak adanya pelabuhan ekspor khusus sawit atau pabrik pengolahan minyak goreng di Aceh. 

Alhasil, nilai tambah ekonomi dari sawit nyaris tak dirasakan oleh masyarakat lokal.

"Aceh membutuhkan infrastruktur yang mampu memaksimalkan potensi sawit, seperti pabrik minyak goreng dan pelabuhan ekspor sawit, sehingga hasil sawit dapat diolah di sini dan masyarakat dapat menikmati dampak ekonominya,” jelasnya.

Kurangnya fasilitas pengolahan menyebabkan hasil sawit hanya dinikmati oleh pengusaha besar di luar Aceh, sementara masyarakat Aceh tetap terjebak dalam kemiskinan. 

Hal ini membuat Aceh seolah menjadi penyumbang kekayaan daerah lain di Sumatra, namun di sisi lain, rakyat Aceh sendiri tidak menikmati hasil dari sumber daya alam yang ada.

Iskandar berharap gubernur yang akan terpilih pada 2024 dapat memperhatikan sektor sawit sebagai salah satu penopang ekonomi rakyat Aceh. 

Menurutnya, diperlukan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan memastikan industri sawit benar-benar bermanfaat bagi mereka, bukan hanya bagi para pemilik modal besar atau tauke sawit.

Dengan mengoptimalkan sektor sawit melalui kebijakan yang berpihak pada rakyat, diharapkan Aceh bisa keluar dari jeratan kemiskinan yang selama ini menjadi ironi di tengah melimpahnya kekayaan sumber daya alam.

 “Kita perlu pemimpin yang mampu melihat sawit sebagai peluang besar untuk menyejahterakan masyarakat, bukan hanya menguntungkan pihak tertentu,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda