DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Pergantian pucuk pimpinan Kepolisian Daerah Aceh kembali terjadi. Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah resmi dilantik sebagai Kapolda Aceh yang baru pada Selasa (19/8/2025) di Mabes Polri.
Momentum ini disambut penuh harapan oleh masyarakat Aceh, termasuk kalangan mahasiswa, agar kehadiran Kapolda baru tidak sekadar seremonial, melainkan benar-benar membawa perubahan berarti di tanah Rencong.
Rivaldi, Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FKIP Universitas Syiah Kuala, menilai masih banyak pekerjaan rumah besar yang harus segera disentuh oleh Kapolda baru.
Menurutnya, selama ini masyarakat masih menyimpan catatan kritis terhadap kinerja kepolisian, terutama dalam penegakan hukum kasus narkotika, tambang ilegal, dan korupsi.
“Yang sering tersentuh justru ‘ikan-ikan kecil’, sementara para aktor besar sering melenggang bebas tanpa jeratan hukum. Situasi ini menimbulkan jarak antara polisi dan rakyat, membuat kepercayaan publik belum sepenuhnya pulih,” ujar Rivaldi kepada wartawan dialeksis.com, Rabu (20/8/2025).
Rivaldi merinci, penanganan kasus narkoba di Aceh masih jauh dari kata tuntas. Berdasarkan data BNNP Aceh, pada semester pertama 2025 saja tercatat lebih dari 380 kasus narkoba dengan lebih dari 600 tersangka.
Namun, mayoritas yang ditangkap hanyalah kurir dan pemakai. Sementara bandar besar serta jaringan internasional masih bebas beroperasi.
Hal serupa juga terjadi pada kasus tambang ilegal. Menurut laporan WALHI Aceh, aktivitas tambang emas tanpa izin di kawasan Aceh Barat telah merusak sekitar 5.000 hektare hutan lindung dan mencemari aliran sungai. Meski begitu, penindakan aparat dianggap lamban dan minim transparansi.
Dalam kasus korupsi, Aceh juga termasuk zona merah.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, sepanjang 2024, Aceh masuk tiga besar provinsi dengan jumlah kasus korupsi terbanyak di Sumatera. Namun, banyak laporan masyarakat terkait dugaan penyelewengan dana desa dan proyek infrastruktur justru mandek di meja penyelidikan.
“Polisi seharusnya berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Jangan sampai aparat justru terjebak dalam permainan kekuasaan dan menjadi bagian dari masalah itu sendiri,” tegas Rivaldi.
Dalam momentum pergantian ini, HMI Komisariat FKIP USK menyampaikan lima catatan penting yang harus dijadikan prioritas oleh Kapolda baru demi membangun wajah kepolisian yang lebih humanis dan dipercaya rakyat.
Yang pertama, polisi yang humanis dan dekat dengan rakyat. Kehadiran polisi bukan hanya soal seragam dan kekuasaan, tapi harus bisa duduk bersama rakyat kecil, mendengar keluh kesah mereka, dan menjadi sahabat masyarakat.
Yang kedua, perang total terhadap narkoba, perusakan lingkungan, dan korupsi. Tidak boleh ada istilah tebang pilih. Siapa pun pelakunya, besar atau kecil, harus berani disentuh hukum.
Yang ketiga, koolaborasi dengan ulama, tokoh adat, mahasiswa, dan masyarakat sipil. Aceh memiliki kearifan lokal dan nilai-nilai Islam yang kuat. Polisi harus menjadikannya fondasi harmoni sosial, bukan sekadar simbol.
Yang keempat, transparansi dan akuntabilitas. Penanganan kasus hukum harus dilakukan secara terbuka agar rakyat tidak lagi curiga adanya main belakang.
Yang terakhir, mengembalikan jati diri polisi sebagai pengayom rakyat. Polisi bukan alat kekuasaan, melainkan pelindung masyarakat yang berdiri di garda depan ketika rakyat membutuhkan rasa aman.
Rivaldi menambahkan, kehadiran Brigjen Pol Marzuki Ali Basyah yang disebut-sebut sebagai putra Aceh menjadi modal penting untuk membawa perubahan di tubuh kepolisian Aceh.
“Semoga dengan digantinya pucuk pimpinan kepolisian daerah Aceh, bisa membawa arah kepolisian di Aceh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi dengan isu yang saya dengar, beliau adalah putra Aceh. Semoga ia bisa membawa kepolisian Aceh meusyuhu ke depannya, untuk membangun Aceh yang jauh lebih baik dan benar-benar mengayomi masyarakat,” tutup Rivaldi. [nh]