Jum`at, 12 September 2025
Beranda / Berita / Aceh / IDeAS: RAPBN 2026 Makin Sentralistik di Pusat, Daerah Kehilangan Ruang Fiskal

IDeAS: RAPBN 2026 Makin Sentralistik di Pusat, Daerah Kehilangan Ruang Fiskal

Jum`at, 12 September 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), Munzami HS. Dokumen untuk dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Direktur Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), Munzami HS, menilai arah kebijakan fiskal nasional semakin memperlihatkan ketimpangan antara pusat dan daerah. 

Hal itu terlihat dari dokumen Nota Keuangan RAPBN 2026 yang baru saja dirilis Kementerian Keuangan, di mana total belanja negara mencapai Rp 3.786 triliun, dengan pendapatan negara Rp 3.147 triliun dan defisit APBN Rp 638,8 triliun. Defisit tersebut akan ditutup melalui pembiayaan utang negara sebesar Rp 781 triliun pada 2026.

Munzami menjelaskan, dari total belanja negara Rp 3.786 triliun, porsi terbesar justru tersedot untuk belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp 3.136 triliun. 

Angka ini terbagi dalam Rp 1.498 triliun belanja kementerian/lembaga (K/L) dan Rp 1.638 triliun belanja non-K/L yang dikelola langsung oleh Menteri Keuangan dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN). Dari pos non-K/L tersebut, kewajiban pembayaran utang negara mencapai Rp 599 triliun pada tahun 2026.

Sementara itu, alokasi Dana Transfer ke Daerah (TKD) justru mengalami penurunan drastis. Dalam RAPBN 2026, TKD hanya dianggarkan sebesar Rp 650 triliun, turun jauh dibanding tahun 2025 yang sebelumnya Rp 919 triliun dan kemudian diefisienkan menjadi Rp 864 triliun dalam outlook APBN 2025.

“Dari data ini, terlihat jelas bahwa tata kelola APBN semakin tersentralisasi di pusat. Target pendapatan negara 2026 sebesar Rp 3.147 triliun itu hampir setara dengan rencana belanja pemerintah pusat sebesar Rp 3.136 triliun. Artinya, 99,6 persen pendapatan APBN habis untuk membiayai kementerian/lembaga dan belanja non-K/L, bukan untuk daerah,” ujar Munzami kepada media dialeksis.com, Kamis (11/9).

Munzami menegaskan, turunnya alokasi TKD otomatis membuat kemampuan fiskal pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, semakin terganggu. Dengan keterbatasan dana transfer, daerah dipaksa menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menutup defisit APBD.

“Masalahnya, ruang fiskal daerah untuk menaikkan PAD terbatas. Jalan pintas yang paling sering diambil adalah menaikkan pajak daerah, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Kita sudah melihat kasus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ketika rakyat turun ke jalan menolak kenaikan PBB yang membebani masyarakat,” ungkapnya.

Menurut Munzami, fenomena itu menjadi sinyal bahwa kebijakan fiskal yang semakin tersentralisasi di pusat akan menambah tekanan pada daerah dan rakyat kecil.

Selain itu, Munzami juga menyoroti kecenderungan kementerian/lembaga yang justru berlomba-lomba meminta tambahan anggaran, sehingga pos belanja K/L meningkat signifikan. Sementara itu, daerah dituntut mencari cara sendiri untuk menutupi kekurangan dana pembangunan.

“Ini potret ketidakadilan fiskal. Pusat menguasai hampir seluruh pendapatan negara untuk membiayai dirinya sendiri, sementara daerah dipaksa bertahan dengan dana transfer yang kian menciut. Jika tren ini terus berlanjut, daerah akan semakin kehilangan daya untuk mendorong pembangunan,” kritik Munzami.

Munzami menegaskan, perbaikan tata kelola keuangan negara tidak cukup hanya dengan menyoroti anggaran DPR, sebagaimana yang kerap menjadi perhatian publik. Seluruh anggaran kementerian/lembaga perlu mendapat pengawasan yang sama.

“Anggaran DPR sering jadi sorotan karena dianggap besar, tapi kalau kita lihat komposisinya, jauh lebih kecil dibanding belanja kementerian/lembaga dan belanja non-K/L yang nilainya ribuan triliun. Jadi yang perlu diawasi bukan hanya DPR, tapi keseluruhan tata kelola anggaran negara,” tegasnya.

Munzami mengingatkan, prinsip keadilan fiskal semestinya tidak diabaikan. Daerah, khususnya yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan nasional, berhak mendapat porsi lebih adil agar bisa menggerakkan pembangunan dan pelayanan publik.

“Kalau terus seperti ini, daerah hanya akan jadi penonton dalam pengelolaan keuangan negara. Semua diatur dari Jakarta, sementara beban ditanggung rakyat di daerah,” pungkasnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

perkim, bpka, Sekwan
riset-JSI
pelantikan padam
sekwan - polda
bpka - maulid
bpka