Implementasi Maqasid Syariah, YARA Dorong Pemerintah Aceh untuk Memperkaya Rakyat Jelata
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Sejak tahun 2002 Aceh sudah mendeklarasikan pelaksanaan syariat Islam. Salah satu dari lima tujuan pelaksanaan syariat Islam (Maqasid Syariah) adalah hifzul maal atau menjaga harta/kekayaan.
“Tapi mengapa sampai sekarang di Aceh belum ada qanun tentang menjaga harta (hifzul maal, red) dari aksi pencurian sebagai bagian dari implementasi syariah Islam?,” tanya Mutia, seorang mahasiswa UIN Ar-Raniry kepada Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin.
Yang dimaksudkan oleh Mutia adalah mengapa di Aceh belum ada Qanun Syariat Islam tentang sanksi bagi pencuri, perampok, penipu dan koruptor. Pencuri dan koruptor masih diadili dengan hukum nasional karena ketiadaan Qanun Anti Korupsi dan Pencurian di Aceh.
Qanun tentang menjaga harta yang ada baru masih sebatas harta warisan, hak suami istri dan harta umat pada Baitul Mal.
Sejumlah mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry pada Senin (6/11/2023) melaksanakan kuliah lapangan di Kantor YARA Banda Aceh.
Mereka tergabung Mata Kuliah Studi Syariat Islam di Aceh dengan dosen pengampu Hasan Basri M Nur. Dalam Mata Kuliah ini Hasan Basri M Nur mengajak mahasiswa untuk melakukan pengamatan lapangan dan mewawancarai beberapa tokoh terkait pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Saat memberi kuliah kepada mahasiswa UIN Ar-Raniry, Ketua YARA Safaruddin menjelaskan panjang lebar mengenai kedudukan Aceh yang istimewa dan khusus yang berbeda dengan provinsi manapun di Indonesia.
“Kedudukan Aceh yang bersifat istimewa dan khusus ini diakui oleh regulasi Indonesia dan kita wajib memastikan ia terlaksana dengan baik,” kata Safaruddin di hadapan sekitar 30 mahasiswa.
“Namun dalam kenyataanya, Aceh tampak tertinggal dalam mutu pendidikan dan kesejahteraan ekonomi,” tambah Safar.
Mengenai implementasi maqasid syariah dalam bidang hifzul maal, kata Safaruddin, perlu menjadi perhatian khusus dari Pemerintah Aceh agar rakyat jelata yang ada di Aceh dibantu melalui program-program pemberdayaan ekonomi keummatan.
“Sebelum kita advokasi qanun tentang hifzul maal lebih baik secara bersama-sama kita dorong Pemerintah Aceh agar konsen membuat program pemberdayaan ekonomi ummat, penciptaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran,” saran Safaruddin.
“Berdayakan ekonomi umat terlebih dahulu, baru kemudian disusun qanun tentang hifzul maal. Kan substansinya pada kepemilikan harta terlebih dahulu,” ungkap Safaruddin yang getol memperjuangkan Syariat Islam Kaffah di Aceh.
“Kemiskinan di Aceh saat ini masih sangat tinggi, bahkan tertinggi di Sumatera. Syariat Islam mesti lebih banyak menyentuh aspek pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk umat,” ujar dia.
Mahasiswa Prodi KPI UIN Ar-Raniry yang belajar di Kantor YARA mengaku senang dapat belajar langsung pada Ketua YARA.
Mereka mengaku baru mengetahui bahwa Aceh adalah daerah yang berbeda dari provinsi lain di Indonesia dengan adanya mata kuliah Studi Syariat Islam, apalagi dipadu dengan pengamatan dan kuliah lapangan, termasuk dengan dosen tamu dari YARA.