Ini Pandangan JPPR Mengenai Pemilu 2024, Simak
Font: Ukuran: - +
Reporter : fatur
Peneliti Senior Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita. [Foto: Istimewa]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dengan situasi nasional yang saat ini sedang pandemi dapat memungkinkan terjadinya pemilu susulan atas pasal 431, 432 UU Pemilu dengan kendati alasan situasi nasional tidak aman, hal ini memang sudah tertuang dalam UU Pemilu.
Peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita mengatakan, mengenai Pemilu Susulan pada posisi hari ini, JPPR tidak melihat adanya opsi tersebut.
“Artinya soal kesepakatan jadwal atau penentuan jadwal yang sampai hari ini belum disepakati, masih dalam memberikan opsi, tapi posisinya sebetulnya ini sama-sama sedang mencari titik temu,” ucapnya kepada Dialeksis.com, Rabu (29/9/2021).
Oleh karena itu, Kata Mitha, opsi soal pengunduran waktu itu hanya bisa dilakukan bila memang dalam kondisi darurat, atau dalam kondisi ketidakstabilan keamanan.
“Misalkan darurat, karena ada bencana alam atau ketidakstabilan keamanan. Contoh pandemi, apakah ada kasus naik, itu mungkin bisa dijadikan pertimbangan,” ujarnya.
Dalam hal ini JPPR belum mempunyai kajian khusus terkait peluang penundaan Pemilu. Kata Mitha, hari ini JPPR sedang melakukan riset tentang, bagaimana sebetulnya kepuasan publik dalam masa Pilkada pandemi 2020.
“Jadi kami mengambil samplenya di titik pelaksanaan Pilkada 2020 di 269 Kabupaten/Kota. Saat ini kami dalam proses pengumpulan. Kami melihat disitu dalam posisi bahwa, hari ini jika dikorelasikan dengan persiapan di 2024, memang masih dibutuhkan persiapan yang sangat matang,” Kata Mitha.
Ia menjelaskan, kalau di tahun 2020, kita punya sejarah Pilkada Pandemi. dan ditahun 2019, itu serentak dalam posisi kita banyak rentan kelemahan terkait mekanisme proses yang berlangsung.
“Karena 2019 sudah banyak studi, JPPR memperdalam di tahun 2020 saja, karena ini kasusnya pandemi, kami sebenarnya mengukur hal-hal yang sederhana saja. Instrumennya seperti misalnya, pemenuhan Protokol Kesehatan (Prokes), kemudian soal regulasi yang mengatur kampanye calon,” ucapnya.
Kampanye calon yang dilakukan kemarin itu menimbulkan kerumunan disaat kondisi pandemi. Kemudian Ia menambahkan, dalam Undang-Undang (UU) hal tersebut itu tidak ada, kemudian diserahkan kepada keamanan (Polisi) menentukan apakah memenuhi standar untuk dibubarkan atau tidak.
“Namun kenyataannya pada proses itu ternyata tidak bisa menjawab apapun, dikarenakan masalah itu hanya pelanggaran Administrasi saja dan itu memberikan efek jera kepada pasangan calon yang sedang berkampanye,” jelasnya.
Selanjutnya, Ia menjelaskan, sebenarnya pada tahun 2020 sempat ada kampanyenya secara Daring.
“Tapikan memang jika melihat di tradisi kita itu tidak mungkin dilakukan, bahkan dengan posisi itu otomatis, kalau tidak mungkin kampanye, berartikan alternatif dorongan dari penyelenggara sendiri untuk bisa mematuhi Prokes saat itukan bisa dilakukan sebagai himbauan,” tambahnya.
“Tapi untuk proses yang betul-betul menegakkan Prokes itu tidak terjadi di tahun 2020,” tambahnya lagi.
Ia menuturkan, apakah rekomendasi di tahun 2024, dengan kondisi itu apakah bisa merevisi ditahun 2022 masih mungkin untuk membuka peluang hukum untuk regulasi terkait di Pemilu aturan kampanye yang taat Prokes.
“Jadi JPPR saat ini dalam posisi sedang memperdalam tentang ketaatan Prokes dalam kampanye yang didorong untuk daring, dan hari ini juga Jokowi sangat mendukung soal Digitalisasi apalagi di tahun 2024 ini posisinya efesien dan efektif kata pemerintah, otomatis dorongannya adalah proses yang terjadi memang betul-betul menghemat SDM, kalau saya lihat arah kesitu. Tapi itu gak mungkin, kalau kita belajar dari kondisi hari ini dengan relasi pemerintah dan media. Maksudnya saya disini bagaimana pemerintah memposisikan media dan sosialisasi media ini masih sebatas Kominfo dan itu masih sebatas literasi media saja,,” jelasnya.
Kemudian, Mitha menjelaskan lagi, namun sebetulnya, budayanya media itu menjadi hal yang lebih konstruktif di masyarakat.
“Otomatis dari hal itu secara cermat terkait persiapan Pemilu dan pemilihan, nanti yang ada akan mengulang hal yang sama, dan nanti bisa jadi perumitannya malah lebih tinggi, termasuk 2019,” tukasnya.
Meskipun, Kata Mitha, ada erekap di tahun 2020 belum sepenuhnya berhasil, sebenarnya dorongan pemerintah hari ini inginnya semua Digitalisasi. Dengan itu itu kita ingin melihat dulu yang sudah disepakati di tahun 2020, Prokes harus taat dalam proses hari H pemungutan suara dan proses kampanye calon yang maju saat Pemilu 2024 secara daring.
“Apakah terlaksana atau tidak, jika tidak terlaksana maka rekomendasi kedepan harus dibuat sejak hari ini,” pungkasnya. [ftr]