Ini Tanggapan KPPAA Terkait PP Kebiri Kimia Pelaku Kekerasan Seksual Anak
Font: Ukuran: - +
Reporter : Roni/Biyu
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) sangat mengapresiasi lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2020 tentang tata cara pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendekteksi elektonik, rehabilitasi dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua KPPAA, Ayu Ningsih kepada Dialeksis.com, Senin (4/1/2021).
"PP ini sendiri dapat mengisi kekosongan hukum atas UU nomor 17 tahun 2016 terkait penerapan atau pelaksanaan kebiri kimia, sehingga jaksa tidak perlu ragu dalam melakukan eksekusi putusan pengadilan," jelas Ayu Ningsih
"Dengan adanya PP kebiri ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku persetubuhan dan pelaku perbuatan cabul terhadap anak, sehingga calon pelaku lain akan berpikir seribu kali untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak," tambahnya.
Wakil Ketua KPPAA itu berujar, kekerasan seksual terhadap anak harus mendapatkan penanganan yang luar biasa karena mengingat dampak dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya sangat luar bisa dan dapat merusak generasi bangsa.
"Lalu bagaimana dengan Aceh? Apakah PP ini dapat menerapkan di Aceh yang notabene berlaku Qanun Jinayat? Jika merujuk pada PP ini ada kemungkinkan dan peluang jika pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh dapat dijerat dengan menggunakan UU Perlindungan Anak dan PP ini," jelas Ayu Ningsih.
Jika memang aturan pidananya tidak diatur dalam Qanun Jinayat tapi diatur dalam Undang-undang perlindungan anak:
- Menurut peraturan tindakan kebiri kimia dapat dilakukan pada pelaku persetubuhan yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa anak melakukan persentuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Selain itu tindakan kebiri dapat dikenakan apabila pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu korban serta mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau kematian bagi korban.
"Apalagi kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik disertai rehabilitasi hanya dikenakan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak berdasakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," jelas Ayu Ningsih.
Adapun pelaku yang bisa dikenakan hukuman kebiri menurut PP ini adalah 1) pelaku kekerasan seksual terhadap anak; 2) pelaku tindak pidana persetubuhan kepada anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (pelaku persetubuhan);
3) pelaku tindak pidana perbuatan cabul kepada anak dengan kekerasan atau ancaman kekerasan seksual, memaksa melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul (pencabulan).
Adapun pelaku anak tidak dapat dikenakan tindakan kebiri kimia dan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektornik (pasal 4 PP).
Tindakan kebiri dilakukan paling lama dua tahun. Tindakan kebiri kimia dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan.
KPPAA berharap beberapa pasal yang diatur dalam Qanun Jinayat Aceh seperti Pasal 47 tentang pelecehan seksual dan Pasal 50 tentang pemerkosaan dapat segera direvisi, agar dapat menerapkan PP ini secara menyeluruh atau dapat membuat Peraturan Gubernur Aceh yang mengatur tentang pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
"Hal ini perlu dilakukan sehingga betul-betul dapat memberikan efek jera kepada pelaku dan calon pelaku lainnya, dengan harapan hal tersebut dapat menekan dan meminimalisir angka-angka kekerasan seksual terhadap anak di Aceh," pungkasnya.