JSI Gelar Seminar Nasional Kritisi Konstruktif dan Solutif terhadap RUU Kepolisian
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Lembaga Jaringan Survei Inisiatif (JSI) mengadakan seminar nasional bertajuk "Kritisi Konstruktif dan Solutif terhadap RUU Kepolisian" di Kuala Village, Banda Aceh, pada, Sabtu (24/8/2024). [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Lembaga Jaringan Survei Inisiatif (JSI) mengadakan seminar nasional bertajuk "Kritisi Konstruktif dan Solutif terhadap RUU Kepolisian" di Kuala Village, Banda Aceh, pada, Sabtu (24/8/2024).
Acara ini dihadiri oleh para ahli hukum, sosiolog, pengamat politik, serta aktivis hak asasi manusia, yang membahas secara mendalam mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepolisian yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.
Acara tersebut dimoderatori oleh Tgk. Akmal Abzal, S.HI, dan menampilkan pembicara terkemuka seperti Dr. Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog dan Akademisi), Mawardi Ismail (Pakar Hukum dari Universitas Syiah Kuala), Aryos Nivada (Pengamat Politik dan Keamanan), serta Azharul Husna (Koordinator KontraS Aceh).
Seminar ini menjadi ajang diskusi hangat yang penuh dengan kritik konstruktif dan solusi-solusi yang diusulkan oleh para narasumber.
Mawardi Ismail, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, membuka diskusi dengan menyoroti bahwa RUU Kepolisian telah mengalami perubahan yang signifikan sebanyak tiga kali.
Ia menjelaskan bahwa undang-undang nomor 6 tahun 2023 ini sangat unik, terutama pada bab 204 yang mengatur tentang fungsi kepolisian.
Mawardi menekankan bahwa fungsi kepolisian meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta pelayanan dan pengayoman.
Menurutnya, fungsi-fungsi ini harus dilihat secara kritis, terutama terkait kewenangan yang diberikan kepada institusi kepolisian.
Mawardi juga mengkritisi proses pembentukan RUU Kepolisian yang terkesan tergesa-gesa dan kurang memperhatikan prosedur serta mekanisme yang benar.
"Ada kesan kejar tayang yang tentu tidak akan sempurna. Persoalan kepolisian sangat luas, dan masyarakat kita sangat beragam," ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap kewenangan kepolisian, mengingat kecenderungan kekuasaan yang dapat disalahgunakan.
Azharul Husna, Koordinator KontraS Aceh, memberikan pandangannya dengan menyoroti tingginya kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri dalam kurun waktu Juli 2023 hingga Juni 2024, dengan total 645 peristiwa yang tercatat.
Ia menekankan bahwa masyarakat sudah jenuh dengan situasi ini dan merasa bahwa institusi kepolisian tidak dapat lagi diandalkan.
"Mereka melakukan kekerasan dan impunitas yang merupakan warisan dari Orde Baru," jelas Azharul.
Azharul juga menyoroti minimnya pengawasan dan akuntabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
Ia menilai bahwa RUU Kepolisian ini justru dapat memperburuk keadaan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Polri tanpa pengawasan yang memadai, yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara.
Aryos Nivada, pengamat politik dan keamanan, menyoroti aspek politik yang melingkupi pembahasan RUU Kepolisian. Ia mengingatkan bahwa sejarah sering menunjukkan kebutuhan dan kepentingan elit dalam reposisi undang-undang.
"Ketika undang-undang ini menjadi suatu kebutuhan penyesuaian keadaan, kita harus melihat apakah motivasi politik di baliknya murni demi kepentingan publik atau ada agenda tertentu," kata Aryos.
Ia juga menyoroti ketegangan antara pemerintah/DPR dengan masyarakat sipil, di mana RUU ini telah menciptakan jurang yang signifikan antara kedua belah pihak.
Aryos memperingatkan bahwa perluasan kewenangan tanpa pengawasan yang memadai dapat mengancam hak-hak fundamental warga negara, dan menimbulkan konflik antar lembaga yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Dr. Otto Syamsuddin Ishak menambahkan perspektif sosiologis terhadap RUU Kepolisian ini. Ia menekankan bahwa aspek hak asasi manusia harus menjadi prioritas utama dalam penyusunan undang-undang yang menyangkut kepolisian.
Dr. Otto mempertanyakan apakah RUU ini benar-benar dapat diterima oleh masyarakat luas, mengingat potensi pelanggaran terhadap hak-hak fundamental.
Ia juga mengajukan pertanyaan kritis tentang bagaimana RUU ini dapat disempurnakan agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam sesi terakhir seminar, para narasumber sepakat bahwa RUU Kepolisian perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.
Mereka merekomendasikan agar Presiden dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU ini dan mengkaji ulang dengan mempertimbangkan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Selain itu, mereka menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses penyusunan undang-undang ini.
Mekanisme pengawasan terhadap kepolisian juga harus diperkuat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan bahwa RUU ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.[nh]